Kulkas Ada yang Berpotensi Haram? Berikut Penjelasan MUI
Terkait titik kritis halal atau potensi haram dari produk kulkas atau lemari pendingin, berikut penjelasan MUI.
IDXChannel - Banyak masyarakat awam yang masih menyimpan tanda tanya soal adanya sertifikasi halal untuk produk kulkas atau lemari pendingin. Produk yang tidak dimakan atau digunakan di tubuh, apa perlu sertifikasi halal?
Dikutip dari laman Halal MUI, Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim, M.Si., mengakui dalam beberapa tahun terakhir, permintaan sertifikasi halal di lembaga yang dipimpinnya tidak hanya meningkat, namun juga semakin bervariasi. Termasuk sertifikasi halal untuk produk barang gunaan (produk selain makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan).
“Sertifikasi halal telah menjadi salah satu kekuatan daya saing bagi produsen, termasuk para produsen barang gunaan yang semakin peduli akan jaminan kehalalan produk mereka,” ujar Lukmanul Hakim.
Apa Titik Kritis Halalnya?
Senada dengan hal tersebut, Dirut LPPOM MUI Muti Arintawati, menjelaskan, meski tidak masuk ke dalam tubuh seperti halnya makanan atau minuman, kandungan bahan pada produk barang gunaan tetap harus dicermati kehalalannya. Sebab, jika mengandung najis atau haram, maka ketika bersentuhan dengan makanan akan membuat makanan tersebut tercemar barang najis sehingga menjadi haram dikonsumsi.
Kulkas misalnya menurut Muti Arintawati, berdasarkan pengkajian dan proses audit ditemukan ada komponen yang terbuat dari campuran bahan yang menggunakan unsur dari turunan asam lemak.
Unsur asam lemak merupakan bahan yang kritis dari sisi kehalalannya.
“Karena asam lemak itu dapat berasal dari bahan hewani dan nabati, maka harus dipastikan bahwa bahan itu bukan dari turunan bahan haram dan najis,” ujarnya.
Dr. Sri Mulijani, Staf Pengajar Departemen Kimia dan Staf Peneliti Pusat Kajian Sains Halal, Institut Pertanian Bogor (IPB) juga mengatakan adanya beberapa kulkas yang menambahkan zat antibakteri dan zat antibau pada kulkas merupakan teknologi terbaru yang sudah dirilis oleh para produsen kulkas.
Beberapa zat tambahan yang digunakan sebagai antibakteri dan antibau inilah yang harus dicermati, karena berpotensi mengandung bahan haram atau najis. Misalnya, ekstrak teh hijau yang digunakan bernama Green Catechins. Penggunaan ekstrak teh hijau tersebut dimungkinkan dengan dukungan teknologi Green Plasma yang bekerja dengan mensterilkan dan menjaga aliran udara tetap sejuk sehingga makanan tetap segar dan higienis.
Penyaringan udara yang dilakukan untuk menjamin udara yang masuk ke kulkas tetap steril menggunakan ekstrak teh hijau. Tahapan dimulai dengan prefilter, hepafilter, sanitasi dengan membunuh kuman, hingga deodorizer dengan mengurangi bau. Sistem ini memastikan udara yang masuk murni dan tak berbau. Potensi ketidakhalalan dari ekstrak teh hijau yaitu kemungkinan adanya penambahan pengharum untuk mengurangi bau.
Zat penghilang bau ditambahkan pada kulkas untuk mencegah atau menghilangkan bau makanan, sayuran, atau daging yang disimpan dalam kulkas tersebut. Pada umumnya, deodorizer yang terdapat di kulkas (built-in) berupa filter yang menyaring udara melewati serat alami dan saringan karbon aktif.
Filter tersebut dapat menyingkirkan bau tidak sedap dan mempertahankan aroma asli makanan menjadi lebih tahan lama. Aroma bau yang menyengat dikeluarkan secara terus-menerus melalui udara yang melewati filter karbon aktif. “Karbon aktif merupakan bahan yang kritis kehalalannya. Seperti diketahui, karbon aktif bisa berasal dari tulang, batu bara, batok kelapa, dan arang,” kata Sri Muljani.
Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Hasanuddin AF, mengatakan, ketentuan halal dalam kaidah syariah tidak terbatas pada aspek konsumsi, namun mencakup aspek yang sangat luas, yakni menggunakan ataupun memakai. Terkait dengan kulkas, dia menambahkan bahwa sebagai salah satu tempat untuk menyimpan makanan yang akan dikonsumsi, barang tersebut harus diyakini kesuciannya. Bahan-bahannya tidak boleh tercampur dengan material yang haram, yang akan memengaruhi kehalalan produk pangan yang disimpan di dalamnya.
Dasar Sertifikasi Halal Barang Gunaan
Alasan lain mengapa produsen barang gunaan (produk selain makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan) termasuk kulkas, merasa perlu mengajukan sertifikasi halal, menurut Lukmanul Hakim, dipicu oleh akan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam salah satu pasalnya, UU tersebut menyatakan bahwa produk yang disertifikasi halal tidak hanya produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika, melainkan juga bidang jasa dan barang gunaan.
Ketentuan yang dimaksud oleh Lukmanul Hakim, secara rinci dijelaskan pada Pasal 1 ayat (1) UU tersebut, yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sedangkan pada ayat (10) dijelaskan bahwa sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH (Badan Pengelola Jaminan Produk Halal) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Dr. H. Ikhsan Abdullah, SH, MH menyatakan, merujuk pada Undang-Undang JPH, kehalalan suatu produk tidak hanya meliputi makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, tapi juga barang gunaan. Barang gunaan meliputi seluruh produk yang dikenakan orang, mulai dari aksesori rambut hingga alas kaki. “Mengingat ini adalah amanat undang-undang, maka harus dijalankan. Tidak boleh ada pengecualian,” tegasnya.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang barang gunaan. Ketentuan tersebut hanya menyatakan bahwa barang gunaan adalah yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Artinya, cakupannya memang sangat luas, mulai dari kulkas, kaos kaki, cat tembok, tinta, kertas, hingga popok orang dewasa. (Data lengkap mengenai produk barang gunaan yang telah bersertifikat halal dapat diakses di www.halalmui.org.
(IND)