Technology

Limbung Imbas Potong Komisi Google, Bos Startup: Ini Pemalakan

Maulina Ulfa - Riset 25/10/2022 06:30 WIB

Kebijakan tarif layanan pada aplikasi sebesar 15 persen hingga 30 persen dengan sistem GBP disebut tak ubahnya sebagai aksi ‘pemalakan’ semata.

Limbung Imbas Potong Komisi Google, Bos Startup: Ini Pemalakan. (Ilustrasi)

IDXChannel - Dalam pembukaan BUMN Startup Day 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal 9 persen startup atau perusahaan rintisan mengalami kegagalan di awal bisnisnya.

Dari jumlah itu, menurut Jokowi sebanyak 42 persen startup gagal karena tidak ada kebutuhan pasar. Sementara, 29 persen startup kehabisan dana, 23 persen karena susunan tim, 19 persen kalah kompetisi, dan 18 persen karena permasalahan harga.

"Hati-hati 80 persen sampai 90 persen startup gagal saat merintis," kata Jokowi pada event tersebut di ICE BSD City, Tangerang, Senin (26/9).

Potret kegagalan perusahaan rintisan inilah yang menjadi kekhawatiran executive industri ini. Ekosistem startup yang masih seumur jagung memiliki kerentanan ganda baik dari sisi ekonomi maupun non ekonomi.

Di sisi ekonomi, aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan sejumlah startup di Indonesia meningkat beberapa waktu terakhir. Efisiensi dan ketidakpastian kondisi ekonomi global digadang menjadi alasan banyak perusahaan rintisan mengambil langkah tersebut.

Di sisi non ekonomi, tantangan justru datang dari enabler ekosistem startup itu sendiri. Google sebagai perusahaan teknologi terbesar sekaligus pasar utama bagi pengembang aplikasi startup diduga melakukan aktivitas monopoli dalam bisnisnya.

Diketahui bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai melakukan penyelidikan kepada raksasa Silicon Valley tersebut atas dugaan pelanggaraan UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh Google dan anak usahanya di Indonesia.

KPPU menduga, Google telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi secara digital di Indonesia.

Penyalahgunaan posisi dominan ini tertuang dalam kebijakan mewajibkan penggunaan Google Play Billing (GPB) terhadap aplikasi yang listing di Google Play.

GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store.

Adapun Google disebut membebankan tarif layanan pada aplikasi sebesar 15 persen hingga 30 persen dari nilai transaksi.

Nilai transaksi yang dimaksud adalah pembelian yang terjadi di Google Play Store. Di antaranya, item digital, layanan langganan aplikasi, fungsi atau konten aplikasi, software dan layanan Cloud.

Adapun kriteria pengembang aplikasi yang  terkena pemotongan 15% adalah yang memiliki pendapatan (revenue) USD 1 juta. Bahkan, jika pendapatan di atas itu, maka langsung terdampak potongan 30%.

Kebijakan ini dinilai memberatkan bagi executive startup di RI. Ini mengingat kondisi bisnis yang kompetitif dan sulit akibat ketidakpastian ekonomi yang saat ini menghantui, pemotongan sebesar 30 persen ini cukup membebani keuangan perusahaan.

Industri yang Limbung

Kondisi bisnis startup Indonesia memang terlihat lesu. Tak seperti di awal kemunculannya, para pemain startup saat ini lebih bersikap berhati-hati dalam pengembangan bisnis mereka.

Meskipun ada beberapa perusahaan rintisan yang berubah status jadi unicorn atau yang memiliki valuasi di atas USD1 miliar hingga berhasil melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), tak sedikit pula yang harus gulung tikar tak bisa mempertahankan bisnisnya.

Sebut saja, Fabelio, startup penjualan furniture yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.47/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.JKT.PST, tertanggal 5 Oktober 2022.

Tak hanya itu, gelombang PHK juga ramai-ramai menyerang startup. Sebut saja Zenius hingga SiCepat. Walaupun pertumbuhan EduTech terlihat positif, ada beberapa perusahaan EduTech yang melakukan PHK dalam jumlah besar, di antaranya adalah Zenius dan Pahamify.

Tak tanggung-tanggung, PHK terjadi terhadap 200 karyawan Zenius, sedangkan Pahamify tidak membuka informasi berapa jumlah karyawan yang terdampak.

Startup jasa kurir dan logistik SiCepat juga melakukan kebijakan serupa. Meskipun SiCepat memiliki pertumbuhan jumlah karyawan baru, di awal tahun 2022 SiCepat diberitakan melakukan PHK massal terhadap kurirnya.

PHK hingga pailit ini merupakan kondisi yang menggambarkan bisnis startup Indonesia hari ini.

Kebijakan Google Play Billing (GPB) yang diberlakukan Google Indonesia per 1 Juni 2022 ini menambah pelik keadaan.

Menurut keterangan resmi Google Indonesia yang didapat tim IDX Channel, mayoritas developer atau sekitar 99 persen yang dikenai tarif layanan harus memenuhi beberapa syarat.

Di antaranya, bagi developer dengan penghasilan pertama USD1 juta setiap tahunnya tarif layanannya adalah 15 persen. Adapun 30 persen dikenakan untuk penghasilan melebihi USD1 juta setiap tahunnya.

Tetap saja, jumlah ini dianggap terlalu besar dan berdampak signifikan bagi keuangan perusahaan.

Dalam keterangan resminya, Google Indonesia beralasan, memang tidak semua aplikasi dikenakan tarif yang sama.

Menurut Google, tidak ada tarif layanan tunggal karena developer beroperasi di berbagai industri yang memerlukan tingkat dukungan berbeda untuk membangun bisnis yang berkelanjutan.

Google juga menyebutkan akan memastikan bahwa developer memiliki akses ke alat-alat terbaru untuk membantu mengembangkan bisnis, seperti pengoptimalan listing di app store dan proses penyediaan aplikasi, pengujian beta, serta analisis.

“Sebagai wujud komitmen kepada Indonesia, kami memiliki berbagai inisiatif dan program pelatihan keterampilan untuk developer. Sampai saat ini, inisiatif-inisiatif kami telah melatih 200 ribu developer secara nasional,” kata Humas Google Indonesia dalam keterangan resmi tertulis ke IDXChannel.com, pada 14 Oktober 2022.

Namun, dampak berbeda dirasakan oleh executive startup Indonesia. Menurut salah seorang executive startup yang dihubungi tim IDX Channel menyebutkan, alasan potongan biaya 30 persen untuk pengembangan aplikasi yang disebutkan Google tidak masuk akal dan belum sepenuhnya terealisasi.

“Kalaupun ini memang diperuntukkan bagi pengembangan platform, kita juga ngerasa gak ada perubahan signifikan untuk platform dan developer dari sebelum ada kebijakan ini hingga setelah kebijakan ini diterapkan,” ujarnya kepada tim IDX Channel baru-baru ini.

Dianggap Mau Untung Sendiri

Executive startup itu juga menyayangkan adanya potensi integrasi vertikal, di mana kebijakan ini akan menguntungkan ekosistem bisnis yang dimiliki Google sendiri.

Menurut mereka, ada beberapa produk Google yang seharusnya terdampak kebijakan pemotongan 30 persen, namun dalam prakteknya kebal dari kebijakan ini.

Menurut executive perusahaan rintisan RI tersebut, ini merupakan cara Google untuk memaksimalkan keuntungan bagi platform mereka sendiri. Hal ini karena platform mereka bisa menjadi besar tanpa harus membayar dan karena dominasi terhadap sistem android yang cukup kuat.

“Unit bisnis Google seperti Google Suits, Cloud, hingga Gmail tidak perlu menaikkan harga produk sementara platform independen harus menaikkan harga untuk memenuhi kebijakan 30 persen ini dan ini berdampak pada pergeseran dinamika pasar. Ujung-ujungnya, yang mematok tarif mahal akan tidak laku. Akhirnya, yang akan diuntungkan ya produk-produk mereka” ujarnya.

Kondisi ini senada dengan gugatan yang dilayangkan Departemen Kehakiman AS terhadap Google.

Diketahui bahwa Google selama ini telah membayar miliaran dolar setiap tahun kepada produsen alat telekomunikasi seperti Apple, Samsung Electronics dan raksasa telekomunikasi lainnya untuk secara ilegal mempertahankan posisinya sebagai mesin pencari atau search engine pada sistem Android hingga IOS.

Cengkraman digital Google memang tak main-main. Berdasarkan dokumen yang diperoleh tim IDX Channel, Google memang menjadi pemain utama mesin pencarian yang menguasai pasar sekitar 80 persen secara global.

Posisi Google juga mengalahkan para pesaing mesin pencari lainnya. Sebut saja Microsoft hingga Yahoo yang popularitasnya kalah saing dari Google di era modern ini. (Lihat gambar di bawah ini.)

 

Perjalanan Ekosistem Bisnis Mesin Pencari Digital (Search Engine) 1989-2021

Sumber: Departemen Kehakiman AS

Menurut dokumen Departemen Kehakiman AS, Google kini menjadi perusahaan terkaya di planet bumi dengan nilai pasar mencapai USD1 triliun dan pendapatan melebihi USD160 miliar.

Jika merujuk pada laporan keuangan induk Google, Alphabet Inc, pendapatan utama Google dari Google Services--yang mencakup layanan GPB--mencapai USD62,8 miliar hingga Juni 2022 atau setara Rp977,23 triliun (kurs Rp 15.561 per USD). Sementara, di tahun 2021 hanya mencapai USD57,06 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sumber: Alphabet

Google Services mencakup produk dan layanan seperti iklan, Android, Chrome, perangkat keras, Google Maps, Google Play, Penelusuran, dan YouTube.

Google Services menghasilkan pendapatan terutama dari iklan, penjualan aplikasi dan pembelian dalam aplikasi, produk konten digital, dan perangkat keras, hingga produk berbasis langganan seperti YouTube Premium dan YouTube TV.

Tak Punya Daya Melawan

Kondisi ini ditanggapi oleh seorang executive startup RI sebagai bentuk kesewenangan Google terhadap perusahaan rintisan. Melalui wawancara ekslusif dengan tim IDX Channel, pada Jumat (21/10/22), executive startup RI ini mengeluhkan kebijakan Google tersebut.

Executive startup itu menyebut pengenaan GPB ini hanya untuk sebagian kecil pengembang aplikasi atau hanya sekitar 3 persen. Kondisi ini mengacu pada kebijakan pengenaan GPB pada perusahaan yang memiliki nilai total transaksi USD1 juta atau lebih.

“Pertanyaannya, kenapa cuma 3 persen. Ini kan diskriminatif. Kasarannya, 3 persen startup harus membiayai seluruh platform lain. Kalau yang gede-gede (Gojek, Tokopedia) diem aja, karena mereka tidak terlalu kena dampak. Tapi yang kecil-kecil yang kena,” imbuh executive startup ini.

Terkait dengan sistem pembayaran, Google Indonesia sebelumnya menyatakan, menyediakan beragam payment system. Mulai dari kartu kredit atau debit, tagihan ponsel, e-wallet, saldo Google Play dan kartu voucher Google Play, pembayaran tunai, dan transfer bank rekening virtual.

“Pada tahun ini, kami mengumumkan program uji coba baru untuk sistem penagihan sesuai pilihan pengguna (User Choice Billing) dalam aplikasi di Google Play,” kata Google dalam keterangan yang didapat tim IDX Channel.

Lagi-lagi, tanggapan industri startup tentang pernyataan Google cukup kontradiktif.

“Iya kami boleh memilih pembayaran dengan payment gateaway yang lain, namun hanya untuk 4 persen dari total 30 persen yang harus dibayarkan. Sisanya atau sekitar 26 persen tetap harus melalui GPB. Kalau gitu gak pilihan dong. Buat apa ngasih pilihan kalau tetap ditarik sebesar itu,” ucap si executive startup.

Mewakili industrinya, ia menyebut bahwa ini tak ubahnya sebagai aksi pemalakan semata.

“Logikanya buat apa kita bayar lebih banyak dibanding ke platform yang ngasih kita service, itu kan berarti namanya malakin,” imbuhnya.

Melihat kondisi yang ada, para executive startup mengaku tidak mampu melakukan apa-apa untuk melawan. Bahkan untuk memakai jalur hukum, para executive industri ini cukup pesimis akan mampu menghadapi ‘kuasa’ Google.

Hal ini karena sumberdaya yang timpang antara executive industri startup dengan Google itu sendiri, terutama terkait pendanaan.

“Ini menjadikan kondisi kami serba sulit, karena industri ini masih baru, kami tidak punya resource untuk menghadapi google,” katanya pesimis.

Di Amerika Serikat (AS) sebagai negara asal perusahaan raksasa teknologi ini, Google juga mendapat gugatan anti-monopoli dari Departemen Kehakiman. Bahkan kasus ini masih bergulir sejak 2020 lalu dan belum memasuki persidangan selanjutnya.

“Kalau di AS kan ada pemain besar seperti Netflix, Spotify, AmazonPrime, dan lainnya yang punya kapasitas menghadapi Google,” terang si executive startup.

Perlunya Peran Pemerintah sebagai ‘Wasit’

Imbas kebijakan Google ini menyebabkan kerentanan startup semakin menjadi. Perlu adanya sinergi dan komunikasi dari pihak berwenang dalam menyelesaikan sengketa ini.

Untuk itu, pemerintah didorong agar turut andil menyelesaikan persoalan ini untuk mendukung ekosistem bisnis startup yang lebih adil.

Push ke google harusnya dari pemerintah dan KPPU. Yang bisa kami lakukan, ya, dengan berusaha mengurangi ketergantungan sama Google. Karena mau mediasi dengan Google pun juga percuma,” kata executive startup tersebut.

Dalam menengahi kondisi ini, peran pemerintah dan stakeholder (pemangku kepentingan) terkait sangat dibutuhkan sebagai wasit.

Dalam pasar yang sehat, monopoli dapat ditekan dengan adanya kebijakan yang tepat dan tidak memihak kepada salah satu aktor.

“Kemarin, KPPU sudah memulai penyelidikan, dan sudah memanggil sejumlah startup yang terdampak. Kami berharap lewat KPPU dan peran pemerintah mulai dari Kemenparekraf, Kemenkominfo hingga Kemenko Perekonomian mau membantu kami, namun masih lambat responnya,” imbuhnya lagi.

Ke depan, executive bisnis startup tersebut menyarankan, perlunya regulasi yang mengatur anti-monopoli untuk mewujudkan kedaulatan digital di Tanah Air. (ADF)