IDXChannel - Kehadiran Google, sebagai perusahaan teknologi di Indonesia, mulai mendapatkan perhatian dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Beberapa waktu lalu, lembaga ini mulai melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaraan UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh Google dan anak usahanya di Indonesia.
Menurut KPPU, Google melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi digital di Indonesia.
Dalam amatan KPPU, perusahaan yang didirikan oleh Google didirikan oleh Larry Page dan Sergey Brin ini mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu.
GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store. Atas penggunaan GBP tersebut, Google mengenakan tarif layanan kepada aplikasi sebesar 15 hingga 30% dari pembelian.
“Kewajiban ini ditemukan KPPU sangat memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif yang tinggi, yakni 15-30 % dari harga konten digital yang dijual,”ujar KPPU dalam keterangan tertulis di websitenya pada 15 September lalu.
Sebelum kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5%.
Selain itu, KPPU juga menduga Google telah melakukan praktik penjualan bersyarat (tying) untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda. Perusahaan asal Amerika Serikat ini mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli secara bundling aplikasi Google Play Store (marketplace aplikasi digital) dan Google Play Billing (layanan pembayaran).
Google juga hanya menggunakan satu payment system. Sementara beberapa penyedia payment system lain tidak memperoleh kesempatan yang sama untuk metode pembiayaan tersebut.
'Digital Dictatorship’ Google
Bagi pengembang atau developer aplikasi, dominasi Google Play Store cukup kuat karena mayoritas pengguna aplikasi di Indonesia mengunduhnya di Google Play Store.
KPPU menyebut Google Play Store menjadi platform distribusi aplikasi terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 93%.
Beberapa platform lain tercatat turut mendistribusikan aplikasi seperti Galaxy Store, Mi Store, atau Huawei App Gallery. Namun, mereka bukan subsitusi sempurna dari Google Play Store.
Praktik monopoli ini sebenarnya bukan barang baru bagi perusahaan pimpinan Sundar Pichai ini. Google pernah mendapatkan laporan antimonopoli di Amerika Serikat hingga Uni Eropa.
Di negeri asalnya, Google didakwa melakukan monopoli algoritma oleh Departemen Kehakiman AS terkait mesin pencarian dan aktivitas iklan digital.
Pada 2020, Departemen Kehakiman menggugat raksasa teknologi atas dominasinya di pasar pencarian online, menuduh perusahaan “secara tidak sah mempertahankan monopoli di pasar untuk layanan pencarian umum, iklan pencarian, dan iklan teks pencarian umum di AS.”
Google menolak gugatan tersebut dengan alasan konsumen menggunakan produknya karena Google mengklaim diri lebih unggul.
Jonathan Kanter, kepala divisi anti-persaingan Departemen Kehakiman AS berpendapat bahwa Google terkenal karena menggunakan "buku pedoman" anti-persaingan untuk memotong ‘pasokan oksigen’ ke pesaingnya.
Laporan terbaru Bloomberg, Departemen Kehakiman sedang mempersiapkan gugatan antimonopoli besar kedua terhadap Google.
Tidak seperti kasus pertama yang diprakarsai oleh pemerintah federal di era Trump, gugatan baru akan fokus pada laporan perusahaan terkait pasar iklan digital.
Di Eropa, Google terbukti melakukan monopoli serupa dan harus membayar denda sebesar 2,42 miliar Euro karena penyalahgunaan dominasi mesin pencari.
Fenomena ini disebut oleh Anggota Parlemen Jerman, Axel Voss, sebagai Google digital dictatorship, dalam gugatannya terhadap Google terkait perannya dalam melakukan monopoli di pasar aggregator berita di benua Biru.
“Mereka menggunakan kekuatan ekonomi mereka untunk mengambil segalanya melalui cara mereka. Kondisi pers kami sangat terdampak karena mereka tidak lagi menerima keuntungan akibat monopoli internet ini,” ujar Voss mengutip euractiv.com.
Di Prancis, pada 2021, badan antimonopoli setempat juga menuduh raksasa teknologi AS itu menggunakan dominasinya atas penjualan dan pembelian iklan di platformnya. Tujuannya untuk mendistorsi pasar demi keuntungannya sendiri. Akibatnya, Google harus membayar denda senilai 220 juta euro.