sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Akrobat BI Jaga Rupiah, SRBI hingga Tahan Suku Bunga  

Banking editor Maulina Ulfa - Riset
01/09/2023 12:01 WIB
Bank Indonesia (BI) mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam menjaga kinerja rupiah, termasuk melakukan operasi moneter dengan meluncurkan strategi baru.
Akrobat BI Jaga Rupiah, SRBI hingga Tahan Suku Bunga. (Foto: MNC Media)
Akrobat BI Jaga Rupiah, SRBI hingga Tahan Suku Bunga. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bank Indonesia (BI) mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam menjaga kinerja rupiah, termasuk melakukan operasi moneter dengan meluncurkan strategi baru.

Diketahui sebelumnya, BI telah mengakhiri siklus kenaikan suku bunga sejak awal tahun ini meskipun bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) masih agresif mengerek suku bunga dan tekanan ke rupiah belum berakhir.

Di Indonesia, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Agustus 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen.

BI juga menahan suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75 persen ini konsisten dengan stance kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1 persen pada sisa tahun 2023 dan 2,5±1 persen pada 2024.

"Fokus kebijakan diarahkan pada penguatan stabilisasi nilai Rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global," katanya Kamis (24/8/2023).

Kinerja Rupiah dan Upaya BI Lawan The Fed

Sementara itu, rupiah masih terombang-ambing di lautan ketidakpastian dalam sebulan terakhir di tengah ketidakpastian yang masih tinggi terkait arah kebijakan bank sentral AS.

Rupiah pada Jumat (1/9/2023) terpantau naik lebih tinggi melewati 15.200 tepatnya Rp15.257 per USD atau menguat 0,21 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Namun, pada 20 Juni lalu, rupiah akhirnya tembus di level Rp 15.004 per USD dari sebelumnya Rp 14.944 per USD. Secara teknikal, sejak 15 Juni lalu rupiah telah menembus ke atas resisten kuat di kisaran Rp14.730 per USD.

Meski demikian, bank sentral telah berulang kali menegaskan bahwa kenaikan suku bunga di AS tidak perlu dilawan dengan kenaikan suku bunga juga.

Dengan kata lain, BI tidak ingin lagi memakai strategi lama yang biasa disebut ahead the curve. Strategi ini adalah tidak ingin ketinggalan jika The Fed agresif mengerek bunga.

Bank Sentral meyakini dapat menjaga stabilitas rupiah dengan melakukan sejumlah gebrakan.
Terbaru, BI mengeluarkan instrumen yang dinamai Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pada 15 September 2023. SRBI ini sebagai instrumen operasi moneter (OM).

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, SRBI merupakan instrumen OM kontraksi yang pro-market dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang, mendukung upaya menarik aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio, serta untuk optimalisasi aset SBN yang dimiliki BI sebagai underlying.

"Instrumen operasi moneter terus kita kembangkan pro-market, instrumennya itu memang sekaligus untuk memperdalam pasar uang, seperti SRBI kan bisa diperdagangkan di pasar uang. Sehingga BI semakin semakin memutarkan likuiditas di pasar uang," ungkap Perry dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/8/2023).

Selanjutnya di pasar sekunder, SRBI dapat dipindahtangankan dan dimiliki oleh bank dan nonbank (penduduk atau bukan penduduk).

Adapun total kepemilikan asing di instruman SBN mencapai Rp845,29 triliun per 29 Agustus 2023. Angka ini menurun dibandingkan dengan akhir Juli lalu yang mencapai Rp855,19 triliun.

Namun, riset RHB Sekuritas Indonesia pada 24 Agustus lalu menyatakan masih ada kemungkinan bank sentral RI ini akan kembali menaikkan suku bunga.

Sementara suku bunga The Fed bahkan diramal nyaris menyamai level BI saat ini jika pertemuan bulan depan kembali menaikkan seperempat persen lagi.

“Kami memperkirakan BI masih akan menaikkan suku bunga menjadi 6,0 persen pada 2023. Kami memperkirakan bank sentral AS akan mencapai puncak Fed Fund Rate (FFR) sebesar 5,5 – 5,75 persen, dengan keseimbangan risiko cenderung menuju 5,75 – 6,0 persen pada semester II tahun ini,” tulis riset RHB Sekuritas.

Menurut RHB, suku bunga AS yang akan lebih tinggi, ditambah dengan keputusan BI untuk mempertahankan suku bunganya tidak berubah saat ini, menunjukkan bahwa suku bunga kebijakan FOMC-BI akan segera mengalami keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

RHB Sekuritas melihat tiga alasan mengapa BI harus menaikkan suku bunga di sisa 2023 ini.

Pertama, untuk menstabilkan nilai tukar, tidak mungkin tingkat suku bunga BI akan setara dengan tingkat FFR. Hal ini bisa memperburuk nilai tukar rupiah dan bisa menggerus cadangan devisa RI. Sementara saldo transaksi berjalan RI telah menunjukkan pelemahan pada kuartal dua tahun ini.

Pelemahan rupiah juga berkorelasi dengan cakupan pembiayaan impor per Juli 2023 sebesar 6,4 bulan, dibandingkan rata-rata lima tahun sebesar 8,2 bulan sejak COVID-19.

Secara terpisah, transaksi berjalan Indonesia berubah menjadi defisit USD1,9 miliar atau -0,5 persen dari PDB pada Q2 2023. Kondisi ini berpotensi menambah pelemahan nilai tukar rupiah pada periode yang sama.

Berdasarkan data Bloomberg, investor juga telah menjual obligasi Indonesia senilai USD127 juta sejauh ini hingga Agustus 2023. Ini menunjukkan bahwa intervensi pasar obligasi “Operation Twist” di Indonesia bekerja kurang efektif dalam membendung pelemahan nilai tukar rupiah.

Kedua, risiko inflasi yang tinggi dalam beberapa bulan ke depan masih akan menghantui. RHB mempertahankan perkiraan inflasi setahun penuh sebesar 3,8 persen pada tahun 2023.

“Kami memperkirakan bias naik, terutama untuk harga pangan, akibat kondisi cuaca El Nino, meskipun harga minyak global mungkin terus naik akibat guncangan pasokan yang disebabkan oleh kebijakan oleh Rusia dan OPEC.

Ketiga, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed AS pada semester kedua 2023 menjadi 5,5 – 5,75 persen, dengan risiko kenaikan menjadi 5,75 – 6,0 persen. Ini berarti bahwa kenaikan suku bunga pembelian obligasi Indonesia dibandingkan obligasi AS merupakan yang terkecil dalam sejarah.

Jika BI mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah pada 5,75 persen hingga akhir tahun, perbedaan suku bunga nominal FOMC-BI akan berada pada keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dapat menyebabkan nilai tukar Rupiah berada pada titik lemah.

“Kami mencatat bahwa retorika gubernur BI adalah menggunakan “Operation Twist” untuk menahan rupiah, ditambah dengan pengumuman penerbitan sekuritas rupiah untuk menarik arus masuk modal, meskipun bukti empiris menunjukkan investor telah menjual modal ekuitas dan obligasi Indonesia dari bulan ke bulan,” tulis riset tersebut. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement