sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Akrobat BI Jaga Rupiah, SRBI hingga Tahan Suku Bunga  

Banking editor Maulina Ulfa - Riset
01/09/2023 12:01 WIB
Bank Indonesia (BI) mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam menjaga kinerja rupiah, termasuk melakukan operasi moneter dengan meluncurkan strategi baru.
Akrobat BI Jaga Rupiah, SRBI hingga Tahan Suku Bunga. (Foto: MNC Media)
Akrobat BI Jaga Rupiah, SRBI hingga Tahan Suku Bunga. (Foto: MNC Media)

Adapun total kepemilikan asing di instruman SBN mencapai Rp845,29 triliun per 29 Agustus 2023. Angka ini menurun dibandingkan dengan akhir Juli lalu yang mencapai Rp855,19 triliun.

Namun, riset RHB Sekuritas Indonesia pada 24 Agustus lalu menyatakan masih ada kemungkinan bank sentral RI ini akan kembali menaikkan suku bunga.

Sementara suku bunga The Fed bahkan diramal nyaris menyamai level BI saat ini jika pertemuan bulan depan kembali menaikkan seperempat persen lagi.

“Kami memperkirakan BI masih akan menaikkan suku bunga menjadi 6,0 persen pada 2023. Kami memperkirakan bank sentral AS akan mencapai puncak Fed Fund Rate (FFR) sebesar 5,5 – 5,75 persen, dengan keseimbangan risiko cenderung menuju 5,75 – 6,0 persen pada semester II tahun ini,” tulis riset RHB Sekuritas.

Menurut RHB, suku bunga AS yang akan lebih tinggi, ditambah dengan keputusan BI untuk mempertahankan suku bunganya tidak berubah saat ini, menunjukkan bahwa suku bunga kebijakan FOMC-BI akan segera mengalami keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

RHB Sekuritas melihat tiga alasan mengapa BI harus menaikkan suku bunga di sisa 2023 ini.

Pertama, untuk menstabilkan nilai tukar, tidak mungkin tingkat suku bunga BI akan setara dengan tingkat FFR. Hal ini bisa memperburuk nilai tukar rupiah dan bisa menggerus cadangan devisa RI. Sementara saldo transaksi berjalan RI telah menunjukkan pelemahan pada kuartal dua tahun ini.

Pelemahan rupiah juga berkorelasi dengan cakupan pembiayaan impor per Juli 2023 sebesar 6,4 bulan, dibandingkan rata-rata lima tahun sebesar 8,2 bulan sejak COVID-19.

Secara terpisah, transaksi berjalan Indonesia berubah menjadi defisit USD1,9 miliar atau -0,5 persen dari PDB pada Q2 2023. Kondisi ini berpotensi menambah pelemahan nilai tukar rupiah pada periode yang sama.

Berdasarkan data Bloomberg, investor juga telah menjual obligasi Indonesia senilai USD127 juta sejauh ini hingga Agustus 2023. Ini menunjukkan bahwa intervensi pasar obligasi “Operation Twist” di Indonesia bekerja kurang efektif dalam membendung pelemahan nilai tukar rupiah.

Kedua, risiko inflasi yang tinggi dalam beberapa bulan ke depan masih akan menghantui. RHB mempertahankan perkiraan inflasi setahun penuh sebesar 3,8 persen pada tahun 2023.

“Kami memperkirakan bias naik, terutama untuk harga pangan, akibat kondisi cuaca El Nino, meskipun harga minyak global mungkin terus naik akibat guncangan pasokan yang disebabkan oleh kebijakan oleh Rusia dan OPEC.

Ketiga, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed AS pada semester kedua 2023 menjadi 5,5 – 5,75 persen, dengan risiko kenaikan menjadi 5,75 – 6,0 persen. Ini berarti bahwa kenaikan suku bunga pembelian obligasi Indonesia dibandingkan obligasi AS merupakan yang terkecil dalam sejarah.

Jika BI mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah pada 5,75 persen hingga akhir tahun, perbedaan suku bunga nominal FOMC-BI akan berada pada keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dapat menyebabkan nilai tukar Rupiah berada pada titik lemah.

“Kami mencatat bahwa retorika gubernur BI adalah menggunakan “Operation Twist” untuk menahan rupiah, ditambah dengan pengumuman penerbitan sekuritas rupiah untuk menarik arus masuk modal, meskipun bukti empiris menunjukkan investor telah menjual modal ekuitas dan obligasi Indonesia dari bulan ke bulan,” tulis riset tersebut. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Berita Rekomendasi

Berita Terkait
Advertisement
Advertisement