sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

BI Masih Perlu Tahan Suku Bunga, Ini Penjelasan Ekonom

Banking editor Anggie Ariesta
20/06/2024 10:24 WIB
Strategi triple intervention BI diharapkan dapat membantu mengelola volatilitas Rupiah.
BI Masih Perlu Tahan Suku Bunga, Ini Penjelasan Ekonom (Foto: MNC Media)
BI Masih Perlu Tahan Suku Bunga, Ini Penjelasan Ekonom (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bank Indonesia (BI) dinilai masih perlu menahan suku bunga acuan di level 6,25 persen.

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky menyebut, saran ini diberikan atas dasar beberapa bahan pertimbangan.

Pertama, setelah perayaan Idul Fitri, inflasi umum di Indonesia turun menjadi 2,84 persen (yoy) di bulan Mei 2024 dari 3,00 persen (yoy) di bulan April 2024 dan masih berada dalam kisaran target BI.

"Penurunan inflasi umum terjadi karena berkurangnya permintaan konsumen pasca Idul Fitri dan stabilnya harga bahan pangan akibat musim panen," kata Riefky dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (20/6/2024).

Tingkat inflasi saat ini masih berada di dalam kisaran target BI sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen. Penurunan inflasi sebagian besar disebabkan oleh berkurangnya permintaan konsumen pasca-Idul Fitri, yang terlihat dari penurunan tingkat inflasi untuk kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau, yang turun menjadi 6,18 persen (yoy) pada Mei 2024 dari 7,04 persen (yoy) pada April 2024.

Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar USD2,93 miliar di Mei 2024, naik 7,61 persen (mtm) atau USD0,21 miliar dari USD2,72 miliar di April 2024. 

Akibat efek basis rendah (low-base effect), surplus perdagangan Mei bahkan tumbuh 585,10 persen (yoy) secara tahunan seiring nilai neraca perdagangan di Mei 2023 tercatat di titik terendahnya selama empat tahun terakhir. 

"Di Mei 2024, baik ekspor maupun impor mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya, dan peningkatan neraca perdagangan secara keseluruhan didorong oleh peningkatan ekspor yang melampaui impor," ujarnya.

Selain itu, keputusan The Fed memicu arus modal keluar dan berkontribusi pada depresiasi rupiah sebesar 2,79 persen (mtm) antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni.

Adapun rupiah terdepresiasi sebesar 2,79 persen (mtm) antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni, mencapai level terendah sejak April 2020, terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS.

Antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni, Rupiah terdepresiasi sebesar 2,79 persen secara bulanan, turun dari Rp15.950 per USD pada 17 Mei menjadi Rp16.395 per USD pada 14 Juni. 

Angka ini menandai level terendah sejak April 2020, saat awal pandemi Covid-19. Pelemahan Rupiah terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS, yang telah berdampak pada mata uang global. 

Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia; beberapa mata uang Asia lainnya juga menunjukkan pola depresiasi yang serupa. Baht Thailand, Ringgit Malaysia, dan Won Korea Selatan, misalnya, semuanya terdepresiasi terhadap dolar AS pada periode yang sama.

Secara year-to-date, Rupiah telah terdepresiasi sebesar 7,07 persen (ytd), menunjukkan kinerja yang moderat dibandingkan dengan mata uang lainnya. 

Terlepas dari tantangan tersebut, cadangan devisa Indonesia mengalami peningkatan sebesar USD2,8 miliar, naik dari USD136,2 miliar pada April 2024 menjadi USD138,97 miliar pada Mei 2024.

Meskipun demikian, peningkatan cadangan devisa pada Mei 2024 memberikan penyangga terhadap tekanan nilai tukar. Strategi triple intervention BI diharapkan dapat membantu mengelola volatilitas Rupiah. 

"Kami melihat bahwa BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya di 6,25 persen,"tuturnya.

(DES)

Halaman : 1 2 3 4
Advertisement
Advertisement