BI rate, menurutnya, masih bisa ditahan dan BI masih akan memegang stance mempertahankan suku bunga.
Dia pun menyoroti harga minyak mengalami kenaikan imbas tensi geopolitik di Timur Tengah karena perang Israel dan Hamas, dan harga BBM non subsidi sudah mulai menunjukkan kenaikan, sementara kenaikan BBM subsidi masih berusaha ditahan oleh pemerintah.
"Ini akan melebar, tapi perang itu susah diprediksi outcome-nya. Dan di dalam kondisi seperti ini, memang dolar AS menjadi safe haven, dan yang terpukul juga adalah mata uang lainnya, bukan hanya rupiah yang melemah," kata Doddy.
Dia mengatakan rupiah tertekan pun juga karena adanya defisit neraca berjalan. Defisit neraca berjalan berarti Indonesia membutuhkan devisa dari luar negeri, dan ini berasal dari hot money.
"Hot money ini akan masuk kalau paritas terjaga, artinya suku bunga riil Indonesia dengan suku bunga riil Amerika Serikat biasanya selisih 2-3%. Masih lebih tinggi Indonesia karena itu country-risk ya, apalagi era sekarang mata uang dolar AS menjadi primadona di tengah situasi perang atau tegangnya geopolitik," ucap Doddy.
Dia memandang melemahnya rupiah dengan rendahnya inflasi masih memberikan ruang bagi BI untuk menahan suku bunga, karena berbahaya bagi BI untuk menurunkan suku bunganya. "Kita juga melihat bahwa secara politik kita juga tetap stabil meski memasuki tahun politik, dari sejak zaman reformasi hingga saat ini, bergejolak dan protes pun tidak sampai level kisruh seperti tahun politik AS era Trump," pungkas Doddy.
(FRI)