Risiko Peningkatan Blending Biodiesel
Pemerintah Indonesia bisa dikatakan ambisius menjadikan biodiesel sebagai bahan bakar nabati pengganti solar murni. Namun, mendorong pengembangan biodiesel secara besar-besaran bukan berarti tanpa risiko.
Sebelum menetapkan B35, pemerintah menargetkan peningkatan blending hingga ke level B50 bahkan ditargetkan mencapai B100.
Pada akhir 2019 lalu, Presiden Joko Widodo ingin kebijakan B50 atau mencampur 50% minyak sawit ke dalam solar berlaku pada akhir 2020. Padahal, program B30 masih baru dieksekusi pada awal 2020.
Peningkatan campuran CPO ke biodiesel ini justru menimbulkan beberapa risiko seperti perluasan lahan perkebunan sawit, kekurangan pasokan CPO, dan beban APBN yang membengkak akibat subsidi yang ditanggung pemerintah.
Hal ini diperkuat, studi LPEM UI pada 2021 lalu yang menemukan perbedaan target campuran kebijakan blending biodiesel secara alamiah akan berpengaruh pada perbedaan kebutuhan CPO.
Dalam skenario yang dihitung oleh LPEM UI, campuran B30 yang dimulai pada 2020 akan menimbulkan akumulasi defisit CPO sebanyak 40 juta ton hingga 2025.
Di lain kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di akhir 2019 lalu mengatakan peremajaan lahan sawit menjadi kunci kepastian pasokan kelapa sawit, utamanya sebagai bahan baku utama biodiesel.
Pengembangan BBN ini kata Luhut akan berhenti di B50 jika tingkat produktivitas tandan buah segar (TBS) atau yield lahan perkebunan kelapa sawit sebesar 41% tidak bisa diperbaiki.
Sementara itu, dampak lingkungan perkebunan sawit selama ini menjadi perhatian banyak pihak.
Menurut LPEM UI, meskipun kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia, tetapi sayangnya, komoditas ini juga dianggap bertanggung jawab atas kasus deforestasi, degradasi hutan, serta kebakaran lahan yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Perkebunan monokultur ini tidak hanya berdampak pada pelepasan emisi karbon, tetapi juga kerusakan habitat yang menyebabkan penurunan populasi hewan langka juga spesies pohon yang seharusnya dilindungi, seperti orang utan dan harimau Sumatera, dan kualitas jasa lingkungan.
Beberapa penelitian menemukan dibutuhkan waktu lebih dari 85 tahun untuk ‘membayar’ emisi karbon yang hilang akibat konversi lahan hutan hujan tropis untuk menjadi perkebunan kelapa sawit.
Dalam hal ini, industri sawit RI menghadapi tantangan ganda baik dari risiko kekurangan pasokan sawit hingga dampak lingkungan yang mungkin akan berdampak pada program mandatori biodiesel di tahun mendatang.
Risiko Boncos Anggaran Subsidi
Selain mengancam pasokan CPO dalam negeri, perluasan program mandatori biodiesel juga berpotensi membebani anggaran subsidi yang digelontorkan pemerintah.
Selama ini Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyalurkan dana subsidi untuk program biodiesel ke sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang ini.
BPDPKS ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 113/PMK.01/2015 tanggal 11 juni 2015.
Badan ini diamanatkan melaksanakan Pasal 93 UU No.39/2014 tentang Perkebunan yakni menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan CPO Suppoting Fund (CSF) yang akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan biodiesel.
Subsidi biodiesel terdiri dari dua komponen yang berasal dari subsidi solar dan subsidi atau insentif biodiesel murni (FAME).
Subsidi solar merupakan subsidi dari bahan bakar jenis solar yang nilai maksimumnya ditentukan oleh pemerintah dalam 1 tahun fiskal dan pendanaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sementara sejak 2015, BPDPKS memberikan dukungan subsidi FAME yang bertujuan mengimbangi kesenjangan harga antara biodiesel dan solar dan diberikan kepada produsen biodiesel.
Insentif FAME dihitung berdasarkan selisih antara Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel dengan HIP Solar ditambah biaya transportasi atau ongkos angkut.
Pemerintah memperkirakan subsidi atau insentif tambahan untuk program mandatori B30 saja pada tahun lalu mencapai Rp46 triliun.
Perkiraan subsidi tersebut dengan asumsi volume penyerapan biodiesel atau dalam hal ini Fatty Acid Methyl Esters (FAME) 30% sebanyak 9,2 juta kilo liter (kl) dan selisih antara harga minyak sawit dan harga jual solar ke konsumen sekitar Rp 5.000 per liter.
Kenaikan harga minyak dunia akibat perang Rusia-Ukraina juga sempat membuat anggaran subsidi energi membengkak. Secara spesifik, harga jual solar subsidi sempat di level Rp 5.150/liter pada Maret 2022 lalu, ketika harga minyak dunia sedang mencapai all time high.
Sementara solar non subsidi (Dexlite) harganya Rp 12.950/liter. Otomatis, pemerintah harus mensubsidi Rp 7.800 dalam setiap liter solar murah.
Dalam APBN 2022, pemerintah hanya menetapkan subsidi solar Rp 5.000/liter sehingga Pertamina harus rela ‘nombok’ banyak.