sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

China Dilanda Kegelisahan Politik, Apa Dampaknya Bagi Pasar?

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
26/10/2022 14:10 WIB
Sejumlah risiko investasi ditakutkan para investor, termasuk struktur komunis hingga perbedaan peraturan dengan prinsip perdagangan internasional.
China Dilanda Kegelisahan Politik, Apa Dampaknya Bagi Pasar? (Foto: MNC Media)
China Dilanda Kegelisahan Politik, Apa Dampaknya Bagi Pasar? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Berakhirnya kongres Partai Komunis China (PKC) telah menarik perhatian pasar selama beberapa hari terakhir.

Terpilihnya kembali Xi Jinping sebagai Sekretaris Jenderal PKC sekaligus Presiden China untuk kali ketiga mendapat respons negatif di kalangan pelaku pasar, baik di domestik China maupun internasional.

Tekanan memuncak pada pasar saham China kemarin saat indeks Hang Seng Index (HSI) dan Shanghai (SSEC) anjlok sejak minggu lalu.

Tercatat, penurunan HSI sepekan terakhir mencapai 8,31% dan 2,02% untuk SSEC, data per 26 Oktober 2022.

Kondisi ekonomi China yang belum stabil serta langkah Presiden Xi untuk mengamankan masa jabatan ketiga menjadi pemicu ketidakpastian pasar ini.

HSI merosot ke posisi terendah dalam 13 tahun pada Senin (24/10/22) dan yuan jatuh ke level terlemahnya dalam 15 tahun terakhir. Sementara, pasar Shanghai menghadapi lebih banyak tekanan jual dari lembaga keuangan asing.

Indeks Hang Seng China Enterprises (HSCEI) turun 7,3% pada Senin, terbesar sejak 2008 sementara asing melakukan aksi jual tercatat rekor USD2,5 miliar pada bursa saham China daratan.

Depresiasi mata uang yuan juga mencapai titik terendah sejak 2007, melemah 0,6% ke level 7,3079 terhadap dolar,

Mengutip Finbold, untuk mengatasi kondisi itu, bank-bank China telah diperintahkan untuk membeli saham dalam upaya untuk mencegah aksi jual saham lebih lanjut dan sebagai upaya untuk menstabilkan indeks saham Shanghai.

Mengingat kinerja ekonomi yang memburuk, langkah tersebut bertujuan untuk menciptakan stabilisasi di pasar lokal.

Seperti yang dilaporkan sebelumnya oleh Finbold, pada 21 Oktober, People's Bank of China (PBOC) menetapkan nilai tukar yuan di angka 7,1186 terhadap dolar AS.

Pada 25 Oktober, dalam jeda aksi jual tercatat HSCEI naik 1,3% setelah di sesi sebelumnya turun 7,3%.

“Menyusul ambruknya saham China dan diperbaharuinya masa jabatan ketiga presiden Xi serta lebih banyak kebijakan Zero-Covid, akan tetap menebabkan pasar meragu dan tekanan aksi jual akan tetap terjadi," ungkap Hao Hong, kepala ekonom di Grow Investment Group.

Mengapa Rezim Xi Memunculkan Kekhawatiran Investor?

Terpilihnya Xi Jinping untuk ketiga kalinya memimpin China memicu kekhawatiran yang dapat menghambat aliran modal asing ke negara itu.

Hal ini terkait meningkatnya persepsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan dikorbankan untuk menudkung kebijakan yang didorong oleh ideologi komunisme.

Namun, apakah China merupakan tujuan investasi yang menjanjikan itu sangat tergantung sudut pandang.

Di sisi potensi, China adalah rumah bagi sekitar seperlima dari populasi dunia dengan pertumbuhan ekonominya yang masif.

Keberhasilan ekonomi ‘kombinasi’ komunisme-kapitalis ala China selama ini mendapatkan perhatian secara luas dan dianggap sebagai prestasi tersendiri bagi negeri Panda tersebut.

Ekonomi China telah tumbuh secara fenomenal selama 40 tahun terakhir sejak membuka diri terhadap dunia luar pasca 1978.

Dalam beberapa dekade terakhir, sektor swasta khususnya telah menjadi mesin pertumbuhan ini, menyumbang lebih dari 60% PDB China dan investasi di pasar global yang ekstensif.

Ekspansi ini juga memunculkan 80% lapangan kerja hingga 70% persen inovasi teknologi muncul akibat sikap keterbukaan China.

PDB negara Tirai Bambu ini diproyeksikan mencapai USD18,46 miliar pada tahun 2022 menurut data Dana Moneter Internasional (IMF). Sementara di tahun 2021, PDB China mencapai USD17,73 miliar menurut data Bank Dunia. (Lihat grafik di bawah ini.)

PDB China 2012-2021

Sekitar 27 juta pengusaha China dan lini bisnis mereka juga telah berkontribusi membentuk sektor swasta ekonomi negeri Panda tersebut. Secara mengejutkan sekitar 20 hingga 25% di antaranya adalah pengusaha komunis.

Bahkan sebagian besar pengusaha komunis ini bergabung dengan Partai Komunis China (PKC) sebelum mendirikan bisnis mereka.

Di sisi lain, para pengusaha ini responsif terhadap adopsi prinsip-prinsip kapitalis yang semakin meningkat oleh pemerintah.

Sejak tahun 1978, pemerintah secara bertahap menyetujui kerjasama luar negeri sebagai kebutuhan untuk mengembangkan ekonominya.

Namun, pendekatan kepemimpinan komunisme ala China ini juga menjadi kekhawatiran para investor. Terutama jika prinsip ‘pengawasan dan pengaturan’ monopolistik diterapkan dalam pasar.

Christopher Marquis dan Kunyuan Qiao dari London School of Economics dalam The Paradox of Communist Entrepreneurs in China meneliti implikasi dari jejak ideologi komunis para pengusaha ini terhadap ekonomi China.

Marquis dan Qiao menemukan bahwa embel-embel ‘komunisme’ ini secara negatif mempengaruhi persepsi pengusaha dan dengan demikian kecenderungan untuk mempengaruhi kerja sama dengan mitra bisnis asing.

Jejak ideologi komunis dengan penekanan anti-Barat juga telah menghambat proses ekspansi dan internasionalisasi usaha swasta China beberapa waktu terakhir. Termasuk dalam hal menerima investasi asing dan menjelajahi pasar luar negeri.

Beberapa pengusaha komunis mengekspresikan identitas komunis mereka melalui penolakan untuk berpartisipasi dalam pasar modal dan pasar global.

Mengutip Investopedia, beberapa risiko yang terkait dengan investasi di China, di antaranya termasuk struktur komunisnya, perbedaan peraturan dengan prinsip perdagangan internasional, dan adanya kekhawatiran intervensi ‘orang dalam’.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat (AS), peran ‘orang dalam’ dalam pasar diatur secara intensif. Integritas sistem berbasis pasar bertumpu pada premis bahwa perdagangan efek (securities) tidak dimanipulasi oleh orang dalam perusahaan.

Sementara di tahun 2008, China melarang aktivitas trading saham oleh pemegang saham utama sebulan sebelum perusahaan merilis laporan keuangannya.

Beberapa studi ekonomi juga menunjukkan bahwa intervensi orang dalam terhadap pasar China masih menjadi masalah investasi di negara ini.

Sebelumnya, banyak perusahaan China juga terdaftar (listing) langsung di bursa saham AS. Beberapa tahun lalu, perusahaan-perusahaan ini bahkan menjadi kesayangan pasar atau market darling.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, hampir semuanya berada di bawah pengawasan ketat karena para investor tidak mempercayai laporan keuangan mereka. Karena rendahnya kepercayaan investor inilah, banyak harga saham perusahaan China yang terdaftar di AS turun secara signifikan. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement