IDXChannel - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengungkapkan, kebijakan makro yang diambil pemerintah Indonesia membuat Indonesia relatif aman dari resesi.
Padahal sebelumnya, pemerintah sudah mewanti-wanti resesi diperkirakan akan berakhir di akhir 2023 atau awal 2024.
“Misalnya saja, untuk mengontrol inflasi, Indonesia tidak hanya menggunakan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI, tapi juga dibarengi dengan menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar dan di tingkat petani,” jelas Hasran dalam keterangan tertulis yang diterima MNC Portal Indonesia, Jumat (20/1/2023).
Menurut dia, dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari tingkat inflasi Indonesia yang berada di kisaran 5 persen selama tahun 2022 dengan tingkat suku bunga acuan kisaran 5,50 persen. Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di kisaran 30,1 persen, jauh dari batas aman 60 persen yang ditetapkan dalam undang-undang.
Kemudian, cadangan devisa Indonesia juga berada dalam kategori aman, yaitu setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Meski begitu, Hasran mewanti-wanti sektor perdagangan sangat mungkin terdampak resesi global dan hal ini bisa menghentikan surplus neraca perdagangan yang sempat diraih Indonesia sejak awal 2020.
Surplus yang disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas seperti batu-bara, nikel, dan CPO ini akan terhenti karena adanya penurunan permintaan dan harga untuk komoditas-komoditas tadi di pasar global.
Resesi adalah memburuknya kondisi perekonomian negara selama dua kuartal berturut-turut yang ditandai dengan penurunan GDP, meningkatnya pengangguran dan penurunan produktivitas pada sektor riil. Penyebab utama resesi ekonomi kali ini adalah naiknya suku bunga bank sentral negara-negara kekuatan utama dunia sebagai upaya dalam menekan inflasi.
Hasran juga melihat kondisi ini akan membuat industri membayar biaya bunga pinjaman yang lebih tinggi. Untuk meminimalisir ini, industri akan lebih memilih mengurangi produksinya dan mengurangi jumlah tenaga kerja.
“Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli karena masyarakat akan memprioritaskan konsumsinya pada hal-hal yang dianggap penting. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor-sektor terkait,” tambahnya.
(SAN)