IDXChannel - Asosiasi Pengusaha Pelayaran Angkutan Niaga atau Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) mencatat sejumlah tantangan industri pelayaran nasional pada 2025. Kondisi ini bisa menyimpan dampak terhadap kelancaran arus logistik nasional pada tahun depan.
Ketua UMUM DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan tantangan yang dimaksud yakni perpajakan yang tidak lazim pada best practice kemaritiman internasional menjadi beban bagi pelayaran nasional. Seperti, pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dengan tarif 10 persen bagi angkutan laut yang membeli bahan bakar minyak (BBM).
Menurutnya, pengenaan PBBKB tersebut menjadi double tax karena bahan bakar minyak (BBM) tersebut sudah dikenakan PPN sebesar 11 persen.
"Double tax tersebut sangat membebankan perusahaan pelayaran nasional. Kami berharap pengenaan PBBKB bagi angkutan laut dihapuskan," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (18/12/2024) malam.
Carmelita menyebutkan, angkutan laut memiliki potensi besar untuk dijadikan bagian dari pengoptimalan infrastruktur yang sudah ada sesuai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan konektivitas dan pemerataan ekonomi. Namun, kemampuan galangan dalam negeri sebagai elemen penting dalam ekosistem industri pelayaran masih terbatas untuk tipe, teknologi dan ukuran kapal tertentu.
Maka dari itu, lanjut Carmelita, perlu adanya dukungan pemerintah dalam memberikan fasilitas insentif pajak maupun suku bunga perbankan terhadap galangan dalam negeri, sehingga dapat lebih kompetitif.
Di sisi lain, jelas Carmelita, galangan kapal harus mendapatkan insentif agar bisa berkembang. Hal ini seperti yang dilakukan di China, di mana pemerintah membantu pembayaran pembangunan kapal dengan skema down payment 80 persen, sedangkan 20 persen sisanya dibayar oleh pemilik kapal.
Menurutnya, jika subsidi seperti di China tidak memungkinkan, maka dibutuhkan alternatif dukungan lain dengan memberikan insentif pembebasan pajak untuk komponen kapal. Saat ini, galangan kapal di Indonesia hanya memiliki pasar yang terbatas, dan lebih banyak untuk jenis kapal tug and barge, dan kapal maintenance.
Hal ini disebabkan banyaknya komponen yang mesti diimpor dan dikenakan pajak, sehingga butuh delivery time lebih panjang dan harga kapal yang lebih tinggi sekitar 30 persen dibanding kapal yang sama di luar negeri.
"Kami apresiasi dorongan pemerintah untuk membangun galangan kapal nasional. Namun selama komponen dan mesin kapal belum dapat diproduksi di Indonesia dan tidak ada insentif pajak, maka akan sulit mendorong galangan kapal untuk membangun kapal dengan kapasitas besar dan kompetitif," kata dia.
Tantangan lain, disebutkan Carmelita, persaingan usaha pelayaran nasional juga kian kompetitif, yang tidak hanya terjadi antar perusahaan pelayaran swasta nasional, tapi juga melibatkan BUMN yang pada dasarnya tidak memiliki inti bisnis di sektor pelayaran.
Menurutnya, hal ini terlihat pada upaya BUMN yang tidak memiliki bisnis pelayaran namun mulai mencari muatan dari BUMN lainnya dengan menggunakan kapal swasta nasional. Praktik bisnis seperti ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakseimbangan pasar dan memunculkan persaingan tidak sehat.
"Kita ingin agar iklim usaha pelayaran tetap kondusif dan persaingan yang sehat dengan mengedepankan kolaborasi antara perusahaan-perusahaan pelayaran niaga nasional baik swasta nasional maupun dengan BUMN. Pelayaran BUMN dapat tetap angkut 30 persen dari produk mereka, sedangkan sisanya diberikan kesempatan kepada swasta nasional," kata Carmelita.
(Dhera Arizona)