sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Ketidakpastian Global Tinggi, Indeks Kepercayaan Industri Juni 2025 Turun di 51,84

Economics editor Nia Deviyana
01/07/2025 10:59 WIB
Angka ini sedikit lebih rendah dibanding Mei 2025 yang sebesar 52,11 dan periode Juni tahun lalu sebesar 52,50.
Ketidakpastian Global Tinggi, Indeks Kepercayaan Industri Juni 2025 Turun di 51,84. Foto: iNews Media Group.
Ketidakpastian Global Tinggi, Indeks Kepercayaan Industri Juni 2025 Turun di 51,84. Foto: iNews Media Group.

IDXChannel - Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Indonesia pada Juni 2025 masih berada dalam fase ekspansi dengan capaian sebesar 51,84. Namun, angka ini sedikit lebih rendah dibanding Mei 2025 yang sebesar 52,11 dan periode Juni tahun lalu sebesar 52,50.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, menyampaikan pelemahan IKI dipicu oleh penurunan variabel produksi yang menurun ke 46,64, sementara variabel pesanan justru naik signifikan ke 54,21. 

Hal ini mencerminkan kehati-hatian pelaku industri dalam merespons kenaikan permintaan melalui produk yang telah diproduksi sebelumnya. 

"Meski ada perlambatan, 18 dari 23 subsektor masih berada di zona ekspansi, dan 18 subsektor yang ekspasi tersebut berkontribusi sebesar 92,2 persen terhadap PDB industri nonmigas triwulan I-2025. Jadi, industri manufaktur Indonesia masih ekspansif pada bulan Juni 2025 disebabkan karena 18 subsektor yg kontribusi PDB besar berada pada fase ekspansif,” kata Febri melalui keterangan tertulis, Selasa (1/7/2025).

Tiga subsektor dengan kinerja terbaik sepanjang Juni 2025 adalah Industri Alat Angkutan Lainnya (KBLI 30), Industri Pengolahan Tembakau (KBLI 12), dan Industri Bahan Kimia serta Barang dari Bahan Kimia (KBLI 20). Meskipun demikian, subsektor tembakau mengalami kontraksi signifikan pada variabel produksi, dipengaruhi oleh beberapa faktor.

"Meskipun Industri Pengolahan Tembakau dalam fase ekspansi dan masuk ke dalam 3 subsektor dengan nilai IKI terbesar, namun variabel produksinya mengalami kontraksi, beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain kebijakan penerapan cukai yang cukup tinggi sehingga mendorong maraknya rokok ilegal, adanya aturan yang akan diterapkan terkait penyeragaman kemasan rokok (plain packaging) membuat beberapa produsen rokok memilih wait and see, serta kekhawatiran konflik di Timur Tengah yang mengganggu logistik," kata Febri.

Sementara itu, terdapat lima subsektor mengalami kontraksi, yaitu Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki (KBLI 15), Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik (KBLI 26), Industri Peralatan Listrik (KBLI 27), Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL (KBLI 28), dan Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan (KBLI 33). 

 “Kontraksi subsektor alas kaki antara lain akibat merosotnya permintaan ekspor, dari USD809,14 juta (Maret) menjadi USD634,88 juta (April), turun 21,54 persen. Pelemahan ekspor terjadi hampir merata, termasuk ke Amerika Serikat yang menurun hingga 21,51 persen. Walaupun begitu, subsektor ini tetap mencatatkan lonjakan investasi dari Rp2,29 triliun menjadi Rp7,03 triliun pada triwulan I-2025 dengan utilisasi produksi masih tinggi," kata Febri.

Adapun subsektor lain yang turut mengalami tekanan pada bulan Junib2025 adalah Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik (KBLI 26), serta Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL (KBLI 28), akibat melemahnya permintaan dalam dan luar negeri. 

Produksi melambat, stok menumpuk, dan penurunan tajam juga terjadi di Industri Peralatan Listrik (KBLI 27), sementara subsektor Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan (KBLI 33) ikut terdampak oleh kontraksi di industri mesin. 

Kondisi ini sejalan dengan pelemahan kinerja sektor industri berdasarkan orientasi pasar. Industri keramik dan industri peralatan listrik mengalami kenaikan permintaan yang disebabkan karena dimulainya beberapa proyek infrastruktur dan konstruksi pemerintah.

IKI sektor industri berorientasi ekspor tercatat sebesar 52,19 (turun 0,14 poin dari Mei), dan sektor domestik 51,32 (turun 0,50 poin), dipengaruhi oleh ketidakpastian global seperti kebijakan tarif AS yang mengganggu rantai pasok serta kenaikan harga energi dunia terutama harga gas akibat peningkatan eskalasi konflik di Timur Tengah.

Meski begitu, stabilitas inflasi dan tren surplus neraca perdagangan selama lima tahun terakhir menjadi penopang utama. Di sisi lain, dinamika industri dalam negeri turut dipengaruhi oleh peningkatan belanja pemerintah pada belanja infratruktur dan konstruksi. Begitu juga dengan kebijakan relaksasi impor produk jadi juga ikut menekan permintaan domestik beberapa industri.

Kebijakan relaksasi ini memicu lonjakan impor produk jadi dan menekan utilisasi industri dalam negeri disertai dengan penutupan industri serta ancaman PHK terutama di delapan kelompok industri utama seperti alas kaki, elektronik, kosmetik, dan pakaian jadi. 

Menanggapi hal ini, Kementerian Perindustrian mendukung dan mengapresiasi kebijakan Deregulasi Pemerintah untuk Kemudahan Berusaha dan pengendalian dan pembatasan impor produk jadi disubsektor Tekstil dan Produks Tekstil serta produk pakaian jadi serta aksesoris pakaian jadi sebagai langkah mitigasi sekaligus upaya menjaga ketahanan industri nasional.

“Revisi Permendag ini mempertimbangkan data supply-demand sektor tekstil dan pakaian jadi. Dengan pembatasan impor secara selektif, maka pesanan produk dalam negeri akan meningkat. Karena itu, setelah kebijakan tersebut diterapkan, kami yakin dampaknya akan positif terhadap variabel pesanan dalam IKI, khususnya pada subsektor industri tekstil dan pakaian jadi,” kata Febri.

Febri juga menambahkan, pada Juni 2025, pesanan pada industri tekstil, produk pakaian jadi, dan aksesoris pakaian jadi mengalami kontraksi. 

“Hal ini menunjukkan bahwa relaksasi impor sebelumnya telah menekan permintaan domestik. Maka, revisi kebijakan ini diharapkan akan memulihkan permintaan dan meningkatkan utilisasi industri dalam negeri,” kata dia.


(NIA DEVIYANA)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement