Tertinggal dari ‘Rekan Sejawat’
Sebelumnya, mengutip Financial Times, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan Inggris menjadi satu-satunya ekonomi G7 yang akan menghadapi jurang resesi tahun ini. (Lihat grafik di bawah ini.)

IMF memprediksi bahwa pengeluaran rumah tangga Inggris akan goyah di bawah tekanan harga energi yang tinggi, kenaikan biaya hipotek dan kenaikan pajak.
Prediksi IMF bahwa output ekonomi Inggris 2023 akan berkontraksi sebesar 0,5%. Ini merupakan penurunan dari perkiraan pertumbuhan Oktober sebesar 0,2% untuk tahun ini.
Pada November, BoE memperkirakan bahwa produk domestik bruto (PDB) Inggris akan turun 1,9% pada kuartal keempat tahun 2022.
Sementara itu, menurut lembaga pemeringkatan Moody, prospek ekonomi Inggris telah diturunkan dari "stabil" menjadi "negatif" karena ketidakstabilan politik dan inflasi yang tinggi.
Sebelumnya, laporan inflasi Inggris pada September 2022 tercatat sebesar 10,1% secara tahunan (yoy), naik dari bulan sebelumnya sebesar 9,9% yoy.
Pada November, tingkat inflasi tahunan di Inggris naik 10,7% namun kemudian turun menjadi 10,5% di akhir tahun 2022. Meski demikian, angka inflasi ini masih terbilang cukup tinggi.
Sementara itu, inflasi zona Eropa telah melandai di awal tahun ini. Inflasi di zona euro turun untuk bulan ketiga berturut-turut di bulan Januari didukung oleh penurunan biaya energi yang signifikan.
Inflasi utama di zona euro mencapai 8,5% pada Januari, sementara pada Desember 2022, angka inflasi tercatat sebesar 9,2%.
Namun, menurut analisis Bloomberg jelas bahwa kinerja ekonomi Inggris mulai menyimpang dari anggota G7 lainnya.
Kinerja yang buruk sebagian disebabkan oleh investasi bisnis karena perusahaan menunda keputusan pengeluaran akibat ketidakpastian ekonomi di benua Eropa secara keseluruhan.
Menurut Bloomberg Economics, investasi bisnis Inggris tertinggal sekitar 9% dari PDB dibanding rata-rata negara G7 sebesar 13%.
Selain itu, ekonom Hanson dan Andrade memperkirakan bahwa jumlah pekerja di Inggris menyusut drastik dan justru membebani negara tersebut.
“Kelangkaan tenaga kerja menambah tekanan inflasi dalam jangka pendek dan membatasi potensi pertumbuhan lebih jauh. Ini bukan kabar baik bagi perekonomian yang menghadapi prospek jangka panjang yang suram, dengan tren pertumbuhan sedikit di atas 1%,” ujar Hanson dan Andrade. (ADF)