IDXChannel - Inggris bisa jadi merupakan satu-satunya negara ekonomi maju yang terjebak dalam jurang resesi pada 2023 ini.
Pasalnya, laporan Bloomberg Economics melaporkan guncangan ekonomi negeri monarki itu telah memasuki tahun ketiga ditandai lemahnya investasi bisnis hingga kekurangan tenaga kerja yang cukup parah.
Kondisi ini menurut Bloomberg Economics dipicu salah satunya akibat dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada 2016 atau yang dikenal sebagai Brexit.
Sebuah analisis oleh Bloomberg Economics tiga tahun lalu juga sempat menggambarkan potensi kerugian yang diakibatkan oleh keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan perpecahan yang terjadi di tubuh pemerintah yang dipimpin partai Konservatif.
Mengacu penelitian terbaru Bloomberg Economics, keputusan Brexit ini telah merugikan ekonomi negara tersebut sebanyak £100 miliar per tahun.
Angka ini setara USD124 miliar dengan efek yang cukup beragam. Di mulai dari investasi bisnis yang mandeg hingga kemampuan perusahaan untuk membuka lapangan kerja.
Ekonom Bloomberg Ana Andrade dan Dan Hanson memperhitungkan ekonomi Inggris 4% lebih kecil dari yang seharusnya, dengan investasi bisnis tertinggal secara signifikan dan kekurangan pekerja yang terus melebar.
“Apakah Inggris melakukan tindakan merugikan diri sendiri secara ekonomi ketika memilih untuk meninggalkan Uni Eropa pada tahun 2016? Bukti sejauh ini masih menunjukkan hal itu,” tulis Andrade dan Hanson dalam sebuah catatan yang diterbitkan Selasa (31/1).
Kedua ekonom itu menegaskan bahwa keluar dari sistem single market Uni Eropa berdampak buruk lebih cepat daripada yang diprediksi oleh para ahli.
Temuan ini kontradiktif dengan pernyataan Perdana Menteri Rishi Sunak bahwa Brexit adalah “peluang besar” bagi Inggris yang mulai terwujud.
Ia sempat menyebut, memutuskan hubungan dengan Uni Eropa memungkinkan Inggris untuk lebih bebas dalam memacu perdagangan dan mereformasi aturan jasa keuangan untuk kepentingan bank di negara itu.
“Kami telah membuat langkah besar dalam memanfaatkan kebebasan yang dibuka oleh Brexit untuk mengatasi tantangan generasi,” kata Sunak dikutip Bloomberg, Senin (30/1).
Studi Bloomberg menyatakan output yang hilang akibat Brexit tidaklah mudah. Hal ini karena keluarnya Inggris dari Uni Eropa bertepatan dengan guncangan yang disebabkan oleh pandemi virus corona.