Permasalahan utamanya, menurut Ardianto, adalah tidak adanya aturan yang mewajibkan perusahaan-perusahaan tambang emas di Indonesia untuk menjual produknya ke Antam.
"Jadi menjadikan ini menjadi fleksibilitas bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk menjualnya di dalam negeri ataupun mengekspor," kata Ardianto.
Kondisi ini diperparah oleh adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 13 persen yang dianggap memberatkan transaksi antara Antam dan perusahaan lokal.
Akibatnya, perusahaan domestik lebih memilih menjual ke luar negeri atau meminta Antam untuk turut membeli produk perak yang juga mereka produksi.
"Karena tidak ada kepastian ketersediaan di dalam negeri, artinya tidak ada kewajiban bagi perusahaan tambang yang menambang di Indonesia untuk menjual ke Antam, dan B2B-nya tidak selalu menguntungkan bagi perusahaan tersebut untuk menjual kepada Antam emasnya saja, maka Antam masuk ke porsi ketiga, Pak," kata dia.
(NIA DEVIYANA)