"Pekerjaan rumah kita saat ini adalah pasar domestik gas belum terbentuk di wilayah Indonesia bagian timur," ucapnya.
'
Kondisi tersebut, ucap Rachmat, memerlukan skema komersialisasi gas bumi yang lebih atraktif melalui dukungan kebijakan fiskal di Lapangan Stranded/Marginal, kemudahan perizinan dan regulasi, dukungan infrastruktur dan pasar. Selain itu, perlu dukungan pengembangan skema komersialisasi yang fleksibel agar eksplorasi dan produksi gas nasional bisa dipacu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, dari berbagai data yang diperolehnya, memang sekitar 80 persen cadangan gas berada di Indonesia timur, sementara konsumen justru berada di bagian barat yakni Jawa dan Sumatera.
Sehingga, ujar Komaidi, kunci agar bisa mengurangi potensi kekurangan pasokan gas adalah dengan terus menggenjot jaringan penyediaan infrastruktur gas seperti pipa meskipun ada risiko investasi yang mahal.
"Kalau bangun pipa, investor tanya berapa lama cadangan lewat. Kalau 5-10 tahun bangun pipa kemudian kalau balik modal 15 tahun, enggak akan dipilih. Kemudian opsi paling logis mengubah gas bumi jadi LNG (liquefied natural gas) dengan skala kecil tapi lebih mahal. Sementara konsumen di bagian barat sudah terbiasa dengan harga gas murah. Ini yang perlu diluruskan," ucap Komaidi.
Dia menambahkan, salah satu tools yang bisa dimanfaatkan adalah keterlibatan badan usaha baik milik pemerintah maupun swasta yang memiliki modal kuat untuk bisa mendorong pemanfaatan gas domestik.