IDXChannel - PT PLN (Persero) telah memiliki sejumlah insiatif untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23% dalam bauran energi pada 2025 tanpa membebani APBN di tengah kelebihan pasokan listrik. Salah satunya mempercepat pengoperasian pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang masuk dalam program kelistrikan 35.000 Megawatt (MW).
"Seperti PLTP ada 1,4 GW, kemudian hidro ada 4,9 GW itu kami percepat prosesnya. Sehingga kita harapkan di 2025 itu bisa beroperasi," ujar EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN, Edwin Nugraha Putra dalam keterangan tertulis, Jumat (10/12/2021).
Inisiatif berikutnya adalah menerapkan penggantian batu bara sebagai bahan bakar pada PLTU dengan biomassa (co-firing), sehingga biomassa menempati 3% sampai 6% dalam porsi EBT pada 2025.
"Kita berharap sampai 2025 nanti sekitar 10-20% batu bara digantikan biomassa sehingga kita berharap 3-6% bauran EBT pada 2025 berasal dari biomassa," imbuhnya.
Inisiatif ketiga adalah menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tidak tersambung dengan sistem kelistrikan skala besar di wilayah terpencil dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). PLN juga akan menggunakan PLTS dengan total kapasitas 3 sampai 4 GW dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dengan total kapasitas 600 MW.
"Ini hal utama yang kami lakukan dengn kondisi over supply dengan memanfaatkan yang ada supaya bauran EBT tercapai," ujarnya.
Menurut Edwin, dengan inisiatif tersebut PLN dapat berhemat dari sisi pengeluaran belanja modal (Capex) untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23% dalam bauran energi pada 2025.
"Dengan memanfaatkan aset yang ada, kami berharap Capex tidak tinggi dan Opex bisa dioptimalkan," kata Edwin.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Ekonomi Energi Fahmy Radhi menyarankan pemerintah harus berhitung cermat dalam menerapkan kebijakan transisi energi fosil ke EBT.
Pasalnya, untuk merealisasikan rencana tersebut harus menghadapi sejumlah tantangan, yaitu kondisi kelistrikan Indonesia saat ini 65% adalah PLTU yang menggunakan batu bara dan harga jual listriknya paling murah, sementara harga listrik dari pembangkit berbasis EBT mayoritas masih mahal.
Berikutnya adalah karakteristik pembangkit EBT dengan berbahan bakar fosil berbeda dalam menghasilkan listrik, karena sebagian pembangkit berbasis EBT tidak bisa memasok listrik secara terus menerus. Sementara jika harus berbagi beban dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer /IPP) pemerintah harus membuat kebijakan insentif yang menarik bagi investor.
"Kalau harus 100% itu berat terutama dari sisi pembiayaan. Tidak bisa sepenuhnya dibebankan ke PLN, harus ada investor lain dalam bentuk IPP untuk masuk ke EBT. Juga masalah-masalah lain untuk tarik investor ke EBT butuh tax insentif atau pendanaan perbankan itu bisa diberikan subsidi bunga," jelasnya. (TIA)