Denni mencontohkan warga di Kabupaten Seram Bagian Barat harus ke Ambon dan meninggalkan keluarganya, ternak mereka, pekerjaan mereka. Warga juga harus membayar transportasi serta living cost seminggu sampai dua minggu untuk mengikuti pelatihan offline. Hitungan ini dinilai sangat mahal, uang negara tentu tidak kuat.
“Lalu belum lagi permasalahan terkait bagaimana kualitas instruktur dan lembaga pelatih yang ada di Ambon, sebagus apa, serelevan apa. Padahal kita ingin mereka mampu lompat yang jauh, anak Seram Bagian Barat langsung mendapat instruktur dari Jakarta,” paparnya.
Bahkan waktu Denni Puspa Purbasari berkunjung ke Kabupaten Biak, ada seorang anak yang mengaku bahwa mereka bangga dengan Prakerja karena dia bisa belajar bersama sama anak Jawa dengan instruktur yang sama. Sering kali mereka merasa diberi kesempatan yang paling belakang.
“Ini menunjukkan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu benar-benar ada di Prakerja,” ucap dia.
Denni memaparkan angkatan kerja berjumlah sekitar 50 juta orang, dari Sabang sampai Merauke. Dengan jumlah itu, pemerintah berpikir bagaimana masyarakat berkesempatan mengambil pelatihan praktis yang membuat mereka menjadi relevan, bertahan, dan kompetitif, baik pindah pekerjaan atau bahkan naik kelas.
Apalagi Prakerja itu bukan untuk penganggur saja, tapi juga untuk mereka yang sudah bekerja namun ingin naik kelas atau ganti pekerjaan yang lebih baik.
“Penganggur kita hanya 5 persen dari angkatan kerja, sedangkan 95 persen sisanya sudah bekerja,” katanya.
“Masalahnya, adalah para pekerja itu hanya memiliki pendapatan rata-rata sebesar Rp3,19 juta per bulan. Itu masih cukup rendah, kita harus gas terus. Kita berupaya menaikkan itu melalui peningkatan skill dan produktivitas,” lanjut Denni.
Prakerja semi bansos, lanjut Denni, hanya berlaku selama 2020-2022, di mana pelatihannya hanya online karena konteksnya pandemi. Saat itu, beasiswa pelatihan yang ditetapkan sebesar Rp1 juta, insentifnya Rp2,4 juta dengan Rp600.000 per bulan selama empat bulan.
Sementara, skema normal dimulai pada 2023 dengan beasiswanya sebesar Rp3,5 juta dan insentifnya hanya Rp600,000. Ini berubah karena pandemi sudah berakhir dan ekonomi sudah mulai membaik sehingga dukungan terhadap biaya beli sudah tidak perlukan lagi.
Selain itu, standar atau durasi pelatihan juga dinaikkan dari yang semi bansos minimal selama dua jam, kemudian mulai naik enam jam pada pertengahan 2021, lalu kini dalam skema normal menjadi minimal 15 jam durasi pelatihan.
Secara materi pun juga lebih kuat, lebih lengkap, dan lebih membekali para peserta Prakerja karena kita sangat fokus kepada upskilling dan reskilling.
Jumlah peserta pada skema semi bansos kota mengeksekusi 16,4 juta orang. Sedangkan pada skema normal satu tahun ini diberikan anggaran untuk 1 juta orang namun bisa melakukan optimalisasi hingga 1,2 juta orang.
“Pelatihan tatap muka atau secara offline sudah kita mulai sejak Prakerja memasuki skema normal. Sejauh ini dilaksanakan di 14 provinsi dengan sarana dan prasarana yang memadai,” jelasnya.
(FRI)