sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Proyek Jalur Sutra Terancam Gagal, China Gelontorkan Bailout Rp3.622 Triliun ke Negara Kreditur

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
28/03/2023 14:44 WIB
China menghabiskan USD240 miliar atau setara dengan Rp3.622,77 triliun untuk menyelamatkan 22 negara berkembang sepanjang 2008 hingga 2021.
Proyek Jalur Sutra Terancam Gagal, China Gelontorkan Bailout Rp3.622 Triliun ke Negara Kreditur. (Foto:
Proyek Jalur Sutra Terancam Gagal, China Gelontorkan Bailout Rp3.622 Triliun ke Negara Kreditur. (Foto:

IDXChannel - China menghabiskan USD240 miliar atau setara dengan Rp3.622,77 triliun (asumsi kurs Rp 15.094,9/USD) untuk menyelamatkan 22 negara berkembang sepanjang 2008 hingga 2021.

Negara-negara tersebut tergabung dalam proyek Belt and Road Initiative atau lebih dikenal dengan proyek Jalur Sutra.

Jumlah ini dilaporkan melonjak dalam beberapa tahun terakhir karena lebih banyak negara yang berjuang untuk membayar kembali pinjaman yang dihabiskan untuk membangun infrastruktur.

Sebagai informasi, Belt and Road Initiative adalah strategi pembangunan global yang diadopsi oleh pemerintah China yang melibatkan pembangunan infrastruktur dan investasi di 152 negara dan organisasi internasional melalui pemberian utang luar negeri. Indonesia juga menjadi salah satu peserta Belt and Road Initiative.

Berdasarkan sebuah penelitian oleh World Bank, Harvard Kennedy School, AidData dan the Kiel Institute for the World Economy yang diterbitkan Selasa (28/7), hampir 80% dari pinjaman penyelamatan dilakukan antara tahun 2016 dan 2021, terutama ke negara-negara berpenghasilan menengah termasuk Argentina, Mongolia dan Pakistan.

China telah meminjamkan ratusan miliar dolar untuk membangun infrastruktur di negara-negara berkembang yang dibungkus dalam proyek Belt & Road initiative. Jumlah paket pinjaman dilaporkan telah berkurang sejak 2016 karena banyaknya proyek gagal membayar menghantui.

"Beijing pada akhirnya mencoba untuk menyelamatkan bank-banknya sendiri. Itu sebabnya Beijing masuk ke dalam bisnis berisiko pinjaman bailout internasional," kata Carmen Reinhart, mantan kepala ekonom Bank Dunia dan salah satu penulis studi tersebut.

Pinjaman Membengkak dan Praktik Swap Lines Terselubung

Studi tersebut menemukan, pinjaman China ke negara-negara yang mengalami kesulitan utang melonjak dari kurang dari 5% dari portofolio pinjaman luar negerinya pada 2010 menjadi 60% pada 2022.

Hal ini karena China memberlakukan sistem swap lines dalam memberikan utang luar negerinya.

Swap lines adalah perjanjian antara bank sentral untuk menukar mata uang antar negara dengan menyimpan pasokan mata uang yang tersedia untuk diperdagangkan dengan bank sentral lain dengan nilai tukar yang berlaku.

Bank biasanya menggunakan jalur swap lines hanya untuk pinjaman jangka pendek. Sebagian besar perjanjian bersifat bilateral, yang artinya hanya antara bank dua negara.

Mengenai jalur pertukaran luar negeri China, diketahui bahwa People's Bank of China (PBOC) membangun jaringan global swap lines dengan hampir 40 bank sentral asing sejak 2008.

Namun, sebagian besar jalur pertukaran ini tidak aktif selama bertahun-tahun.

“Makalah kami adalah yang pertama secara sistematis melacak dan mengukur jangkauan PBOC. Secara resmi, tujuan utama swap line adalah untuk mempromosikan penggunaan RMB (mata uang China) untuk tujuan penyelesaian perdagangan dan investasi,” tulis laporan tersebut.

Dari 17 negara yang telah membuat gambar garis pertukaran PBOC sejauh ini, hanya empat yang melakukannya pada waktu normal.

“Kami menemukan bahwa swap line sebagian besar ditarik dalam situasi keuangan dan ekonomi makro negara-negara dengan rasio cadangan rendah dan peringkat kredit yang lemah,”imbuh laporan tersebut.

Adapun Argentina menerima pinjaman paling banyak, dengan total mencapai USD111,8 miliar, diikuti Pakistan dengan USD48,5 miliar dan Mesir dengan USD15,6 miliar. Adapun sebanyak sembilan negara menerima kurang dari USD1 miliar.

Sementara itu, terdapat bank-bank milik negara China lainnya yang memberikan dukungan neraca pembayaran kepada negara-negara debitur mencapai USD70 miliar.

Studi ini juga menemukan beberapa bank sentral China yang berpotensi menggunakan jalur swap PBOC untuk meningkatkan angka cadangan devisa mereka.

“Pinjaman penyelamatan China buram dan tidak terkoordinasi," kata Brad Parks, salah satu penulis laporan, dan direktur AidData, lembaga penelitian di William & Mary College di Amerika Serikat.

Pinjaman bailout ini harus dilakukan China karena pinjaman yang sudah digelontorkan berisiko yang ditimbulkannya terhadap neraca bank-bank di China.

China dilaporkan sedang berupaya menegosiasikan restrukturisasi utang dengan negara-negara termasuk Zambia, Ghana dan Sri Lanka dan telah dikritik karena menunda proses tersebut. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement