IDXChannel - Para mahasiswa diminta bijak menyikapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi jenis Pertamax. Pasalnya, kenaikan tersebut memang tak bisa dihindari di tengah meroketnya harga minyak dan gas dunia seiring konflik Rusia-Ukraina. Yang perlu ditekankan, meski harga Pertamax naik, pada dasarnya harga baru tersebut masih termasuk paling murah di dunia.
“Kenaikan harga Pertamax tak bisa dihindarkan karena mengikuti harga minyak dan gas dunia yang memang melambung akibat perang Rusia-Ukraina. Namun, meski pun naik, sebenarnya kita bisa lihat bahwa harga Pertamax masih termasuk paling murah di dunia,” ujar Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, kepada media, Sabtu (11/4/2022).
Tak hanya itu, Piter juga berharap publik dapat memahami bahwa kenaikan harga hanya diberlakukan untuk Pertamax yang notabene merupakan BBM non subsidi dan memang sedianya diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Pun, volume penjualan Pertamax selama ini juga relatif kecil, yaitu hanya 14 persen saja terhadap total penjualan BBM Pertamina. "Porsi BBM yang (harganya) naik ini kecil. Sedangkan BBM dan LPG subisidi, termasuk Pertalite, Biosolar, dan gas melon yang notabene ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah, hingga saat ini tidak terjadi kenaikan harga," tutur Piter.
Bahkan, kenaikan harga yang diterapkan untuk Pertamax saat ini yaitu menjadi Rp12.500 per liter disebut Piter masih sangat jauh di bawah harga keekonomian, yaitu Rp16.000/liter. Artinya, bahkan ketika harga Pertamax sudah dinaikkan pun, Pertamina masih merugi dan memberikan subsidi Rp3.500 dalam setiap liter Pertamax yang dibeli masyarakat.
“Dengan segala kondisi ini, bisa dipahami bahwa kebijakan kenaikan harga Pertamax sudah tepat. Makanya, saya pikir tinggal bagaimana Pemerintah bisa mengkomunikasikan dengan baik terkait kondisi yang ada saat ini. Itu tantangannya,” tegas Piter.
Dari data Global Petro Prices, harga BBM di Indonesia memang termasuk paling murah. Untuk kawasan Asia Tenggara misalnya, Pertamax yang dijual Rp12.500/liter, jauh lebih murah dibandingkan BBM sejenis di Singapura (Rp30.208/liter), Laos (Rp24.767/liter), Filipina (Rp20.828/liter), Kamboja (Rp20.521/liter), Thailand (Rp19.767/liter), dan Vietnam (Rp16.500/liter). Satu-satunya negara Asia Tenggara yang lebih murah adalah Malaysia, yaitu Rp6.965/liter. Tetapi harus diingat, bahwa di Malaysia, BBM setara Pertamax memang mendapat subsidi, sehingga harganya lebih rendah. Sedangkan di Indonesia, subsidi diberikan kepada Pertalite.
Sedangkan untuk tingkat global, harga BBM juga jauh di atas BBM keluaran Pertamina. Hong Kong, misalnya, menjual dengan harga Rp41.346/liter dan Belanda Rp36.148/liter. Bahkan, negara-negara BBM di Afrika pun jauh lebih mahal. BBM di Zimbabwe contohnya, dijual Rp33.795/liter.
Demikian juga dengan BBM di dalam negeri. Ternyata meski Pertamax naik, harganya masih jauh lebih murah dibandingkan SPBU swasta. Shell di Jakarta misalnya, menjual Super Shell (RON 92) dengan harga Rp16.000. Sedangkan Vivo dan BP AKR, masing-masing menjual produk RON 92 mereka seharga Rp 12.900 dan Rp12.990.
Begitu juga dengan harga LPG. Brightgas keluaran Pertamina yang dijual Rp15.725/kg, juga jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Sebagai perbandingan, Vietnam menjual seharga Rp26.927/kg, Filipina Rp26.989/kg, dan Singapura Rp29.927/kg. Malaysia memang lebih rendah, yaitu Rp6.466/kg. Tetapi, Gas Petronas 12 kg tersebut merupakan produk subsidi dari Pemerintah Malaysa, sehingga bisa dijual lebih murah. (TSA)