“Sejak dua tahun belakangan harga ban terutama jenis radial terus naik dan stok sering kosong. Pengusaha angkutan tidak bisa mendapatkan jaminan apakah barang akan ada dan kapan akan tersedia. Hal ini tentu saja merugikan banyak pelaku usaha angkutan terutama bagi pengusaha yang modalnya atau cash flow-nya tidak besar,” kata Sani yang juga Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia.
Sani menambahkan, sebelum ada kelangkaan, jika pengusaha dulu butuh 30 ban, maka yang dibeli 30 ban saja. Sekarang, saat penjual punya 100 ban, pengusaha angkutan akan beli semua karena belum tentu 2-3 bulan lagi stok masih ada.
“Kalau pengusaha skala besar yang punya simpanan modal tinggi dia bisa beli langsung banyak seperti ini. Tapi kalau pengusaha kecil menengah tidak akan bisa, sehingga yang terjadi mereka tidak dapat barang dan bisnisnya terganggu,” ujar Sani.
Sejak akhir 2020, harga ban terus mengalami kenaikan akibat terganggunya suplai chain global yang memicu kenaikan harga bahan baku dan biaya logistik. Kenaikan harga rata-rata mulai dari dua hingga 15 persen di seluruh jenis produk yang berbeda. Larangan terbatas impor ban dan pembatasan kuota juga memicu kekurangan pasokan, terutama untuk ban-ban Truk dan Bus jenis radial yang tidak banyak diproduksi di dalam negeri.
Kebutuhan ban Truk dan Bus di Indonesia diperkirakan lebih dari 6 juta unit pada 2021 di mana 77 persen merupakan ban bias dan 23 persen merupakan ban radial. Saat ini suplai ban Truk dan Bus jenis radial dari produsen dalam negeri tidak lebih dari 500.000 unit setiap tahunnya sehingga kebutuhan ban yang harus disuplai melalui impor masih cukup besar.