sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Tangkap Peluang Ekonomi, Pemerintah Diminta Perluas Cakupan Aturan CCS

Economics editor taufan sukma
08/07/2024 15:28 WIB
teknologi CCS memiliki potensi tak hanya untuk menyimpan emisi karbon dari pembangkit listrik tapi juga untuk mendukung percepatan transisi energi di Tanah Air.
Tangkap Peluang Ekonomi, Pemerintah Diminta Perluas Cakupan Aturan CCS (foto: MNC media)
Tangkap Peluang Ekonomi, Pemerintah Diminta Perluas Cakupan Aturan CCS (foto: MNC media)

IDXChannel - Penerapan aturan carbon capture storage (CCS) diminta lebih dapat mewadahi kepentingan yang lebih luas. Hal tersebut dinilai penting bagi pemerintah dalam menangkap peluang ekonomi, terutama pada sektor ketenagalistrikan.
 
"Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat sambil mengurangi jejak karbon. Pemerintah juga harus menjaga agar harga listrik tetap terjangkau bagi konsumen dan dunia usaha," ujar  Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Parulian Paidi Aritonang, dalam focus Group Discussion (FGD) Pemanfaatan Teknologi CCS, di Jakarta, Minggu (7/7/2024).

FGD tersebut diselenggarakan menyusul terbitnya dua regulasi penting terkait CCS, yaitu Perpres No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon serta Permen ESDM No. 2/2023 tentang Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
 
Menurut Parulian, teknologi CCS memiliki potensi tidak hanya untuk menyimpan emisi karbon dari pembangkit listrik tetapi juga untuk mendukung percepatan transisi energi di Tanah Air.
 
"Saya berharap FGD ini dapat menghasilkan kajian kelayakan, potensi manfaat, tantangan, serta bagaimana teknologi ini dapat membantu meminimalkan risiko kenaikan tarif listrik yang penting bagi perekonomian masyarakat," ujar Parulian.

Masih dalam FGD, Expert Advisor PT ESSA, Haposan Napitupulu, menyatakan bahwa implementasi CCS pada bisnis hulu migas tidak mengalami kendala karena biayanya sudah diakomodasi dalam cost recovery.
 
"Namun, ini berbeda dengan sektor hilir seperti ketenagalistrikan, industri, dan transportasi yang tidak memiliki mekanisme cost recovery," ujar Haposan.
 
Menurut Haposan, Kementerian ESDM perlu memetakan wilayah kerja migas yang sudah tidak optimal atau depleted reservoir dan membuka data fasilitas permukaan bagi penghasil karbon untuk dimanfaatkan sebagai penyimpanan karbon yang dihasilkan industri hilir.
 
Diketahui, saat ini belum ada landasan hukum khusus yang mengatur mekanisme pelaksanaan CCS di sektor ketenagalistrikan. Peraturan yang ada, seperti Perpres No 14/2024, hanya mengatur skema penyelenggaraan CCS di sektor hulu.

Karenanya, diperlukan regulasi khusus untuk penanganan emisi CO2 dengan pemanfaatan teknologi CCS di sektor ketenagalistrikan agar tidak berdampak pada peningkatan BPP.
 
Sementara, Asisten Deputi Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi RI, Ridha Yasser, menjelaskan bahwa implementasi CCS di berbagai sektor memegang peranan penting dalam upaya mengurangi emisi karbon dunia.
 
"Saat ini, pemerintah terus berupaya menyediakan regulasi menyeluruh untuk implementasinya di lapangan. CCS akan diimplementasikan aturannya, dan ini dalam rangka kita bersaing dengan negara lain untuk mendapatkan peluang penerapan skema karbon sebagai agenda global," ujar Ridha.
 
Ketua Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan EBT, Didi Setyadi, menekankan pentingnya memanfaatkan reservoir karbon yang dimiliki Indonesia untuk kepentingan dalam negeri. Didi juga menyoroti tantangan dari sisi ekonomis penerapan teknologi baru ini.

"Kita harus mengikuti, mengadopsi, menerapkan teknologi yang baru itu. Kan di situ harus menambahkan biaya. Nah apakah biaya ini kemudian ekonomis atau tidak ekonomis dibandingkan dengan harga jual listriknya sendiri. Nah itu kan yang jadi persoalan," ujar Didi.
 
Menanggapi hal itu, Senior Executive Vice President Hukum, Kebijakan, dan Kepatuhan PT PLN (Persero), Nurlely Aman, menyampaikan komitmen PLN untuk mendukung penerapan teknologi CCS di sektor ketenagalistrikan Indonesia.
 
Namun, Nurlely mengingatkan perlunya memperhatikan implikasi finansial bagi pihak yang bukan pengelola minyak dan gas. Menurutnya, monetisasi depleted well/reservoir yang tidak dimanfaatkan harus dioptimalkan dan regulasi terkait CCS harus ditempatkan dengan tepat, apakah sebagai instrumen penurunan emisi atau tambahan pendapatan negara.
 
Dengan banyaknya masukan dari berbagai pihak, FGD ini diharapkan mampu memberikan wawasan baru dan menjadi masukan berharga bagi pemerintah dalam menyusun regulasi yang mendukung pemanfaatan teknologi CCS untuk mendukung transisi energi di Indonesia. (TSA)

Advertisement
Advertisement