"Angka ICP memang sudah terlewati, dari USD82 (per barel) yang kita tetapkan, angka rata-rata sampai hari ini di kisaran USD87 (per barel). Jadi sudah ada selisih USD5 dengan selisih kurs yang kurang lebih Rp700, jadi double hit istilahnya," tegasnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/6/2024).
"Jika harus menaikkan harga BBM, maka konsekuensinya adalah terjadinya kenaikan inflasi. Selanjutnya berkonsekuensi dengan kemiskinan yang akan naik," lanjutnya.
Meskipun demikian, subsidi energi yang membengkak imbas merangkak naiknya harga minyak mentah dunia dan ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tak serta merta bisa membuat pemerintah langsung mengambil jalan pintas dengan kebijakan tidak populis, seperti menaikkan harga BBM.
Jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio mencapai sebesar 0,388. Angka ini meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384.
"Jika harus menaikkan harga BBM, maka konsekuensinya adalah terjadinya kenaikan inflasi. Selanjutnya berkonsekuensi dengan kemiskinan yang akan naik. Tingkat gini ratio yang masih agak jomplang, ini mengerikan, karena kenaikan BBM ini biasanya akan berimbas pada terjadinya kerusuhan dan lain-lain," ungkap Sugeng.
Sugeng pun menyarankan agar pemerintahan selanjutnya yang sudah terpilih dari kontestasi Pemilu 2024, mau dan menegaskan komitmen terhadap kebijakan transisi energi dan memperluas bauran energi baru terbarukan (EBT).
"Tampaknya ini (transisi energi) menjadi sebuah keharusan, kita harus masuk ke EBT. Karena fosil di minyak sudah defisit, kita sudah net importir sekarang," pungkasnya.
(FRI)