"Jadi masih mungkin akan ada yang sakit, yang disebut “breakthrough infection”, yang derajatnya dinilai dalam bentuk “breakthrough infection rate” (“B-Infection rate”). Tapi yang jelas memang pemberian vaksin secara lengkap ,apalagi kalau dengan booster akan secara bermakna mengurangi angka masuk rumah sakit dan jauh mengurangi kemungkinan penyakitnya jadi memberat. Akan amat baik kalau kita di Indonesia juga menghitung angka “B-Infection rate” dan menyampaikannya ke masyarakat luas," jelasnya.
Kemungkinan ketiga adalah status suseptibilitas genetika seseorang. Yang sudah diteliti a.l peran polimorfisme ACE2, fenomena “type 2 transmembrane serine proteases (TMPRSS2)” dan genotype “HLA-B*15:03” yang dihubungkan dengan kejadian sakit.
"Memang bukti ilmiah untuk ini belumlah terlalu jelas, tetapi akan baik kalau dilakukan juga penelitian suseptibilitas genetika COVID-19 di Indonesia," pungkas Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes itu.
(IND)