Kebijakan tersebut dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi baik regional maupun global. Sebab, selama dua tahun terakhir, China memberlakukan lockdown yang menyebabkan permintaan menurun.
Namun, pembukaan perbatasan dapat mendorong konsumsi domestik dan menopang sektor manufaktur. “Semua itu akan menjadi faktor yang baik untuk pertumbuhan global,” ujar Laura.
Pertumbuhan ekonomi, lanjutnya, bakal ditopang juga oleh kenaikan harga komoditas. Meskipun, meningkatnya harga komoditas dapat menyebabkan inflasi, namun dunia akan menemukan keseimbangan dari kondisi tersebut.
“Dengan kata lain, saya pikir Asia menjadi tempat di mana ekonomi pulih, tidak hanya China tetapi India dan Indonesia yang muncul dengan ekonomi yang sangat kuat,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, dia pun yakin ekonomi Asia bakal tetap kuat. Hal itu sejalan dengan survei IMF yang menyebut GDP Asia pada 2010 mencapai 20% dan pada 2020 sebesar 35%. Kemudian, pada 2023 bisa melesat hingga 45%.
Dengan begitu, masih ada harapan bagi negara Asia untuk menghindari resesi. “Saya pikir resesi merupakan bagian dari dunia yang tidak dapat dihindari, tetapi pertumbuhan benar-benar terjadi di China dan Asia,” pungkasnya.
President and CEO S&P Global Douglas L. Peterson mengatakan harus ada pertumbuhan yang kuat dalam kemampuan China untuk menghidupkan kembali ekonomi mereka setelah mengalami penguncian total selama dua tahun.
Beberapa faktornya yaitu adanya penghematan yang terpendam selama dua tahun terakhir. Hal itu sejalan dengan permintaan yang melambat karena lockdown.
“Menurut kami, China akan melihat pertumbuhan yang sangat kuat terutama di akhir tahun, ada beberapa faktor yang sangat penting untuk diperhatikan,” katanya.