IDXChannel - Kedua pemimpin negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan China, bertemu selama kurang lebih 3,5 jam menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Keduanya membahas banyak hal mulai dari ekonomi hingga keamanan.
"Saya baru saja bertemu langsung dengan Xi Jinping dari Republik Rakyat China. Kami melakukan percakapan terbuka dan jujur tentang niat dan prioritas kami," ungkap Biden dalam konferensi pers usai pertemuan, Senin (14/11).
Persaingan antara kedua negara untuk menjadi kekuatan utama dunia tak dibantah oleh Biden. Namun, pihaknya memastikan persaingan ini akan berjalan sehat tanpa harus adanya konflik.
"Kami akan bersaing dengan penuh semangat, tetapi saya tidak mencari konflik. Saya ingin mengelola tanggung jawab persaingan ini," tegasnya.
Kedua tokoh tersebut juga membahas situasi terkini Rusia dan Ukraina. Biden menekankan tidak diperbolehkannya penggunaan nuklir.
"Kami membahas agresi Rusia terhadap Ukraina, menegaskan kembali bahwa penggunaan senjata nuklir sama sekali tidak dapat diterima," ujarnya.
Pasca KTT G20, Biden juga meminta Sekretaris Negara AS Anthony Blinken, untuk mengunjungi China dalam rangka membuka jalur komunikasi dan diskusi antara kedua negara dan menindaklanjuti pertemuan di Bali.
Elang (AS) dan Naga (China) memang telah lama terlibat dalam tensi terkait banyak hal. Mulai dari militer, teknologi, hingga perdagangan, telah banyak terjadi episode love-hate relationship (hubungan cinta-benci) di antara kedua negara besar tersebut.
AS-China Memanas di Era Kepemimpinan Trump
Pertemuan Xi dan Biden di Bali bisa dibilang menjadi pertemuan bersejarah dalam hubungan AS dan China dalam beberapa tahun terakhir.
Mengutip Council on Foreign Relations, Amerika Serikat dan China memiliki salah satu hubungan bilateral paling penting dan kompleks di dunia. Sejak 1949, kedua tersebut telah mengalami periode ketegangan dan kerja sama terkait isu-isu termasuk perdagangan, perubahan iklim, dan Taiwan.
Memasuki dekade 2010, hubungan Elang-Naga cukup harmonis di bawah kepemimpinan presiden Barack Obama.
Sementara Kongres Partai Komunis China (PKC) ke-18 diakhiri dengan pergantian kepemimpinan paling signifikan dalam beberapa dekade pada 2012.
Sekitar 70% anggota Komite Tetap Politbiro, Komisi Militer Pusat, dan Dewan Negara diganti dan Xi Jinping menggantikan Hu Jintao sebagai presiden, sekretaris jenderal Partai Komunis, dan ketua Komisi Militer Pusat.
Keharmonisan hubungan AS-China di bawah Obama-Xi terpancar dalam Sunnyland Summit 2013. Dalam pertemuan tersebut, presiden Obama menjamu Presiden Xi untuk "“shirt-sleeves summit” di Sunnylands Estate di California dalam upaya untuk membangun hubungan dan meredakan ketegangan AS-China.
Para pemimpin ini juga berjanji untuk bekerja sama secara lebih efektif dalam menekan isu-isu bilateral, regional, dan global, termasuk perubahan iklim dan Korea Utara.
Obama dan Xi juga bersumpah untuk membangun hubungan "model baru", mengacu pada konsep Xi untuk membangun "tipe baru hubungan kekuatan besar" untuk Amerika Serikat dan China.
Namun ketegangan AS China kembali memburuk saat Donald Trump menduduki Gedung Putih.
Pada Maret 2018, pemerintahan Trump mengumumkan pengenaan tarif besar-besaran atas impor China, senilai setidaknya USD50 miliar. Langkah ini menyusul tuduhan Gedung Putih bahwa China melakukan pencurian teknologi dan kekayaan intelektual AS.
Tuduhan Trump ini diperkuat dengan neraca perdagangan AS dengan China yang selalu tercatat defisit. (Lihat grafik di bawah ini)
Kenaikan tarif impor diberlakukan untuk produk baja dan aluminium. Namun kenaikan tarif ini meluas dengan menargetkan barang-barang termasuk pakaian, sepatu, dan elektronik dan membatasi beberapa investasi China di Amerika Serikat.
Tak mau kalah, China memberlakukan tindakan pembalasan pada awal April pada berbagai produk AS. Kondisi ini kemudian memicu kekhawatiran perang perdagangan antara ekonomi terbesar dunia.