"Bidan biasanya berkarya di tempat yang bagus, tapi saya berkarya di desa terpencil, sulit menjangkau transportasi, tidak memiliki fasilitas kesehatan (faskes) dan standar sumber daya manusia (SDM) yang masih di bawah," ujarnya tersenyum.
Perjuangan Theresia cukup dramatis. Bukan hanya persoalan kondisi geografis, dia pun dihadapkan pada tradisi masyarakat yang masih percaya dengan dukun untuk melahirkan maupun pengobatan.
"Perjuangan tujuh tahun tidak mudah, karena biasanya masyarakat jika bersalin ditolong dukun, tidak ada imunisasi, buang air besar masih di sungai. Mereka sulit menerima hal-hal baru, bahkan kehadiran saya dianggap menjadi ancaman, dukun bisa kehilangan lapangan kerja," tuturnya.
Theresia tak peduli seberapa berat langkahnya untuk mengubah kesadaran masyarakat Desa Uzuzozo terhadap fasilitas kesehatan. Dia melakukan pendekatan, jemput bola memberikan pelayanan kesehatan dari rumah satu ke rumah lain dan selalu siaga 24 jam.
"Saya bekerja sebisa mungkin tidak mengurangi tradisi adat. Saya biasanya mencari jalan tengah untuk solusinya. Misalnya imunisasi anak, kepercayaan mereka kalau anak mereka habis disuntik imunisasi, jarum suntiknya ditancapkan ke pohon pisang biar anak enggak demam. Selama enggak mengganggu atau bertentangan dengan medis, enggak apa, nanti jarum suntiknya saya cabut dan saya simpan biar enggak dibuat main," paparnya.