The Fed-nya Ben Bernanke juga memberi insentif kepada Bank of America dan JPMorgan untuk mengambil alih dua perusahaan, yakni Merrill Lynch dan Bear Stearns, dengan menjamin berbagai pinjaman macet.
Selain itu, The Fed era Bernanke juga memangkas suku bunga acuan mendekati nol. Dengan mengurangi tingkat dana federal, bank saling meminjamkan uang dengan biaya lebih rendah, dan pada gilirannya, dapat menawarkan pinjaman dengan suku bunga rendah kepada nasabah dan pelaku bisnis.
Suku bunga yang lebih rendah mendukung investasi bisnis melalui peningkatan posisi keuangan. Dengan memperkuat operasi bisnis, akan menciptakan lebih banyak pekerjaan, yang berkontribusi pada pengurangan tingkat pengangguran.
Seperti bank sentral lainnya, the Fed mengelola perekonomian AS dengan cara menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan. Selama 5 tahun, the Fed telah mempertahankan suku bunga 0%, namun the Fed tidak bisa menurunkan suku bunga di bawah 0%.
Dampak suku bunga rendah serta kebijakan QE mulai akhir 2008 ini membuat nilai tukar dolar AS ikut ‘nyungsep’.
Akhirnya the Fed merangsang ekonomi AS dengan memompa uang langsung ke dalam sistem keuangan.
Hingga pada 2013, The Fed di bawah Ben Bernanke juga mulai menetapkan kebijakan pengurangan stimulus atau tapering off dari semula USD85 miliar per bulan menjadi USD75 miliar per bulan yang berlaku Januari 2014.
Saat itu, dana QE dibagi menjadi dua, di antaranya USD40 miliar untuk membeli obligasi AS atau US Treasury dan USD35 miliar untuk membeli obligasi kredit perumahan yang akan dilakukan dimulai Januari tahun 2014.
Harapannya adalah uang itu kemudian bisa digunakan oleh perusahaan untuk keperluan lainnya.
Kebijakan QE dari The Fed itu telah membantu AS yang dilanda resesi sejak 2009 kembali ke jalur pemulihan ekonomi. Saat wacana tapering off muncul, dolar AS menjadi begitu perkasa hingga ada istilah 'taper tantrum'.
Dampaknya, nilai tukar dolar AS langsung melesat dan membuat nilai tukar mata uang lainnya anjlok.
Jadi taper tantrum adalah istilah bagi efek pengumuman kebijakan moneter AS tahun 2013 yang langsung memukul kurs sejumlah negara berkembang.
Dampak dari taper tantrum ini memukul rupiah anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS pada 2013. Padahal sebelumnya berada di bawah Rp10 ribu per dolar AS. Dari adanya periode taper tantrum, rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dolar AS hingga sekarang. (Lihat tabel di bawah ini)
Nasib pasar saham pun tak jauh lebih baik. Indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh ke level 4.200 di akhir 2013 dan bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus 2014.
Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp 36 triliun.
Penghargaan nobel ini pada akhirnya menghidupkan kembali kritik atas tindakan Bernanke saat ia memelopori pembelian obligasi pemerintah dan aset lainnya, yang menurut beberapa orang pengamat telah membantu memicu kenaikan harga dan mengganggu perekonomian hari ini.
"Ben Bernanke memenangkan nobel ekonomi pada saat sistem keuangan global (sekali lagi) berada di ujung tanduk karena kebijakan moneter yang salah arah yang dipeloporinya dan para bankir sentral lainnya. Ini adalah momen kebangkrutan bagi bank sentral dan Nobel ekonomi," kata Sridhar Vudu, chief executive Zoho technology firm dalam status Twitternya. (ADF)