Asal-Usul Kerugian Rp271 Triliun
Menurut Kejaksaan Agung (Kejagung) per 19 Februari 2024, kerugian yang dimaksud merupakan kerugian lingkungan yang disebabkan adanya kerusakan dari aktivitas tambang ilegal berdasarkan penghitungan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.
Bambang Hero saat itu melakukan penghitungan kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di Bangka Belitung (Babel). Menurut Bambang, angka kerugian itu mencapai Rp271 triliun. (Lihat tabel di bawah ini.)
"Totalnya kerugian itu yang harus juga ditanggung negara adalah Rp 271.069.687.018.700," kata Bambang dalam jumpa pers bersama Kejagung saat itu.
Perhitungan ini berdasarkan pada pasal 6 ayat 1 di Peraturan Menteri LH 7/2014 tentang kerugian ekologis dan lingkungan. Saat ini, pihak Kejagung masih menunggu penghitungan dari BPKP terkait angka resmi kerugian yang ditanggung negara.
Bambang merinci, angka Rp271 triliun adalah perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Total untuk kerugian di kawasan hutan adalah Rp223,37 triliun dan total untuk untuk nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,7 triliun.
Rapor Keuangan Merah
TINS membukukan rugi bersih sebesar Rp449,7 miliar sepanjang 2023, berbalik dari catatan laba bersih Rp1,04 triliun pada 2022.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Timah Fina Eliani menjelaskan, lambatnya pemulihan perekonomian global dan domestik, serta tekanan harga logam timah dunia di 2023 akibat penguatan dolar AS dan lemahnya permintaan timah berdampak pada menurunnya ekspor sejak 2022.
“Kondisi ekonomi global dan domestik yang belum membaik serta lemahnya permintaan logam timah global ditengah aktivitas penambangan tanpa izin berdampak pada kinerja Perseroan di 2023," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (28/3/2024).
Adapun volume penjualan logam timah menyusut 69% secara tahunan (Yoy) menjadi sebesar 14.385 metrik ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 20.805 metrik ton.
Begitu pula harga jual rerata logam timah sebesar USD26.583 per metrik ton atau lebih rendah 84% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD31.474 per metrik ton.
Sementara itu, TINS mencatat produksi bijih timah sebesar 14.855 ton atau turun 74% pada akhir 2023. Kemudian produksi logam timah sebesar 15.340 metrik ton atau turun 77%.
Hingga akhir 2023, TINS mencatatkan ekspor timah sebesar 92% dengan meliputi Jepang 17%; Korea Selatan 13%; Belanda 11%; India 9%; Taiwan 9% dan Amerika Serikat 8%.
"Di 2024 ini, Perseroan fokus pada peningkatan produksi melalui penambahan alat tambang dan pembukaan lokasi baru, strategi recovery plan dan program efisiensi berkelanjutan, manajemen optimis kinerja Perseroan di tahun ini akan lebih baik sesuai dengan target,” imbuhnya. (ADF)