Sementara itu, volume produksi ADRO dan perusahaan-perusahaan anak mencapai 65,88 juta ton di sepanjang tahun 2023 lalu,atau setara dengan kenaikan 5% dari tahun 2022. Adapun, pengupasan lapisan penutup mencapai 286,35 juta bcm, atau naik 22%. Serta, nisbah kupas mencapai 4,35x, atau naik 16% dan lebih tinggi daripada target 4,2x yang ditetapkan perseroan.
Dari sisi pengeluaran, beban pokok penjualan ADRO naik 15% menjadi USD3,98 miliar atau Rp62,56 triliun, terutama karena kenaikan biaya royalti kepada pemerintah yang dibayarkan PT Adaro Indonesia (AI) dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Selain itu, biaya penambangan dan biaya pemrosesan juga naik, akibat kenaikan volume. AEI mencatat kenaikan 22% pada pengupasan lapisan penutup menjadi 286,35 juta bcm, dan nisbah kupas 4,35x, atau 16% lebih tinggi daripada tahun 2022 maupun target. Namun angka itu masih sesuai dengan nisbah kupas umur tambang perusahaan.
“Walaupun konsumsi bahan bakar naik 14%, biaya bahan bakar sepanjang tahun 2023 lalu tetap setara dengan tahun 2022 karena harga minyak lebih rendah,” imbuh Boy Thohir.
Kemudian, beban usaha perseroan tercatat turun 8% menjadi USD343,93 juta atau Rp5,40 triliun karena penurunan 17% pada komisi penjualan menjadi USD104 juta dan perseroan mencatat pembalikan terhadap cadangan beban yang belum dibayar untuk komponen terkait beban terkait kewajiban pembayaran kepada pemerintah sebesar USD53,8 juta, setelah dikurangi akrual untuk PNBP untuk pemerintah pusat (porsi 4%) dan pemerintah daerah (porsi 6%). Di sisi lain, biaya karyawan naik 29% menjadi $104 juta, seiring pertumbuhan Grup Adaro.