Risiko Krisis Energi Bisa Terulang
Kini, pasca serangan Hamas ke Israel telah membuat risiko serupa muncul kembali. Buntut pecahnya perang antara Hamas-Israel, raksasa migas asal AS, Chevron, yang juga merupakan operator ladang gas Tamar di lepas pantai selatan Israel, telah menghentikan produksi di ladang tersebut sesuai instruksi dari Kementerian Energi Israel.
“Chevron Mediterranean Limited diinstruksikan oleh Kementerian Energi Israel untuk menghentikan produksi di Platform Produksi Tamar,” kata unit lokal supermajor AS dalam sebuah pernyataan, dikutip Reuters (9/10).
Chevron Mediterranean Limited mengoperasikan ladang gas Tamar dan memiliki 25 persen saham di lapangan tersebut. Bersama dengan perusahaam migas lainnya seperti Isramco (28,75 persen), Tamar Petroleum (16,75 persen), Mubadala Energy (11 persen), Tamar Investment 2 (11 persen), Dor Gas (4 persen), dan Everest (3,5 persen).
Di Tamar, enam sumur produksi masing-masing menghasilkan volume gas alam berkisar antara 7,1 hingga 8,5 juta meter kubik per hari (MMSCFD).
Sebagian besar pemrosesan gas alam dilakukan di platform Tamar yang terletak 24 kilometer (15 mil) sebelah barat Ashkelon. Tamar juga memasok 70 persen kebutuhan konsumsi energi Israel untuk pembangkit listrik.
Meskipun Tamar diperintahkan ditutup setelah serangan Hamas terhadap Israel, ladang minyak raksasa Leviathan tetap beroperasi secara normal.
Setelah penutupan ladang Tamar, Israel akan mencari sumber alternatif untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Buntut perang ini, pemerintah Israel juga telah memerintahkan perusahaan listrik milik negara untuk menghentikan pasokan listrik ke Jalur Gaza.
Reuters melaporkan pasar sedang memperhatikan apakah ada keterlibatan Iran dalam peningkatan eskalasi konflik di Timur Tengah. Jika negara Barat secara resmi mengkonfirmasi dugaan tersebut, maka Barat berpotensi memperketat sanksi terhadap Iran. Sebagai informasi, Iran adalah salah satu produsen minyak mentah terbesar dunia.
Ancaman konflik Timur Tengah juga muncul saat Arab Saudi dan Rusia ketika menetapkan kebijakan pemangkasan produksi dari sebesar 1,3 juta barel per hari hingga akhir 2023. Pada September 2023, kendala pasokan sempat mendorong harga minyak Brent menyentuh level USD95,9 per barel.
Reuters juga melaporkan bahwa Goldman Sachs memprediksibahwa harga minyak mentah Brent pada 2024 akan berada di rentang USD80–USD105 per barel, didorong oleh potensi defisit produksi akibat pemangkasan produksi dari OPEC.
Saat ini, kenaikan harga minyak mentah masih lebih didorong oleh sentimen jangka pendek. Mengutip Stockbit, menurut laporan Fortune, trader minyak mentah saat ini belum melihat bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah dapat menimbulkan risiko yang besar bagi pasokan minyak mentah.
Meski demikian, potensi pengetatan sanksi dari Barat untuk Iran, jika negara tersebut diklaim terlibat, dapat menimbulkan risiko penurunan pasokan dan ekspor minyak dari Iran. Hal ini dapat mendorong kenaikan harga minyak lebih lanjut. (ADF)