Sengketa dagang yang terus memburuk terjadi setelah Presiden AS Donald Trump pada Rabu sempat mengumumkan penundaan tarif balasan terhadap sebagian besar negara, yang sempat memicu euforia singkat di pasar saham. Namun, investor segera menyadari bahwa tarif tinggi terhadap negara mitra utama seperti China, Meksiko, dan Kanada masih tetap berlaku.
“Meski tarif tertinggi ditunda selama 90 hari, tarif menyeluruh 10 persen serta bea 25 persen atas sebagian besar impor dari Meksiko dan Kanada, termasuk mobil, baja, dan aluminium, masih tetap diterapkan. Ditambah lagi dengan terus meningkatnya tarif impor China, dan sebaliknya, maka situasi ini jauh dari menggembirakan,” demikian mengutip analisis PVM Oil Associates.
Perang tarif yang berkepanjangan berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi global, memicu inflasi, dan menurunkan permintaan minyak. Badan Informasi Energi AS (EIA) memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global pada 2025 menjadi 0,9 juta barel per hari, dari sebelumnya 1,3 juta.
“Kami menilai pertumbuhan permintaan minyak akan melambat, dan karena itu kami menurunkan proyeksi konsumsi global. Kami kini memperkirakan konsumsi minyak dunia meningkat 0,9 juta barel per hari pada 2025 dan 1,0 juta barel per hari pada 2026, masing-masing turun 0,4 juta dan 0,1 juta dibandingkan proyeksi sebelumnya,” kata EIA.
Namun lembaga ini juga mencatat bahwa ketidakpastian masih tinggi karena perubahan kebijakan dagang dapat memengaruhi berbagai skenario pertumbuhan ekonomi.