IDXChannel – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru saja meninggalkan Oktober yang berat. November telah hadir dengan sejumlah track record yang kurang positif. Apakah kali ini berbeda?
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG hanya tumbuh 0,83 persen selama Oktober. Disebut ‘hanya’ karena Oktober biasanya menjadi bulan baik untuk IHSG.
Rerata kenaikan IHSG selama 10 tahun terakhir sebesar 2 persenan. Kenaikan IHSG selama Oktober tahun ini juga juga jauh lebih rendah tinimbang dua tahun terakhir.
Pada 2020, IHSG bangkit dengan melesat 5,30 persen dan pada 2021 IHSG mencuat 4,84 persen selama Oktober.
Guncangan di IHSG pada tahun ini tak lepas dari sempat ‘cabutnya’ investor asing setelah IHSG menyentuh level tertinggi 7.300-an pada medio September lalu. Ditambah, iklim global makro sedang ‘gak enak’ dengan aksi kerek suku bunga oleh bank sentral negara utama.
Lantas, bagaimana dengan kinerja musiman (seasonality) IHSG di November?
Secara historis, November bukanlah bulannya IHSG.
Dalam 15 tahun terakhir, tingkat probabilitas IHSG untuk menguat selama bulan ini hanya sebesar 33 persen. Lebih rendah lagi, dalam 10 tahun belakangan, probabilitas IHSG naik selama November cuma 30 persen.
Dengan data tersebut, hanya Mei dan September yang bisa menyamai rekor buruk November.
Lebih lanjut, dalam 15 tahun belakangan, IHSG turun 0,38 persen selama November dan selama 2012-2021 (10 tahun) IHSG merosot 0,33 persen di bulan yang sama. (Lihat grafik di bawah ini.)
Adapun, selama 5 tahun terakhir, IHSG hanya naik 2 kali, yakni pada 2018 dan 2021.
Selama November 2021, indeks harga saham acuan tersebut juga minus 0,87 persen.
Anomali setidaknya terjadi pada 2020. Kala itu kinerja musiman IHSG di November melonjak 9,44 persen. Ini karena IHSG mulai bangkit setelah anjlok habis-habisan sejak Maret-September akibat pandemi Covid-19 yang tiba-tiba muncul.
Memang, di tengah track record yang kurang menggembirakan tersebut, setidaknya IHSG masih memiliki sentimen positif.
Sejauh ini, kinerja year to date (YtD) IHSG masih yang terbaik di kawasan Asia Pasifik. Hanya IHSG dan bursa saham India yang punya kinerja positif di antara ‘lautan merah’ bursa Asia Pasifik lainnya.
Selain itu, investor asing mulai kembali mencatatkan pembelian bersih (net buy), setidaknya dalam sepekan terakhir.
Dalam seminggu, per 31 Oktober 2022, asing melakukan net buy Rp679,38 miliar di pasar reguler.
Sementara, dalam sebulan terakhir, asing masih membukukan penjualan bersih di pasar reguler sebesar Rp900,46 miliar. Ini jauh lebih baik ketimbang posisi, sebut saja, pada 20 Oktober di mana asing melakukan net sell Rp8,36 triliun di pasar reguler.
Di sampuing itu, kondisi ekonomi RI sejauh ini masih terbilang stabil, belum terkena gangguan yang berarti.
Soal sentimen makro, kebijakan suku bunga oleh bank sentral, terutama bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, dan juga respons Bank Indonesia (BI) tetap menjadi perhatian utama pasar selama bulan ini.
The Fed akan mengumumkan hasil rapat FOMC pada Kamis lusa (3/11) dini hari waktu Indonesia. Jerome Powell dan rekan diproyeksikan akan kembali mengerek suku bunga acuan menjadi 4,00 persen dari sebelumnya 3,25 persen. Artinya, kembali agresif dengan kenaikan 75 basis poin (bps).
BI sendiri akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16-17 November. Kenaikan suku bunga oleh The Fed lagi-lagi akan menjadi pedoman BI dalam rapat tersebut.
Singkatnya, walau dibekali catatan kurang sedap selama historis, kinerja masa lalu tentu tidak serta merta akan memengaruhi kinerja masa depan IHSG. Mari kita tunggu. (ADF)