IDXChannel – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Rabu (12/10) diproyeksikan terkontraksi di tengah pelemahan rupiah dan kenaikan suku bunga acuan. Kendati demikian, sejumlah sektor justru diuntungkan dari kondisi ini yang turut mengerek harga sahamnya.
IHSG hari ini diproyeksikan melemah di tengah tekanan jual di bursa Tanah Air. Menurut analis MNC Sekuritas Edwin Sebayang, indeks di Wall Street ditutup beragam karena investor sedang menunggu data inflasi dan rilis laporan keuangan emiten di kuartal III-2022.
"Tekanan jual di Bursa Indonesia berpotensi masih tetap terjadi berpotensi menjadi tambahan sentimen negatif bagi perdagangan di bursa pada Rabu ini," ujar Edwin dalam risetnya, Rabu (12/10), dikutip dari Okezone.com.
Di samping itu, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga menambah sentimen negatif bagi IHSG hari ini. Pada perdagangan Selasa (11/10), kurs rupiah ditutup hingga ke level Rp15.360 per USD.
"Untuk perdagangan Selasa (11/10), mata uang Rupiah dibuka berfluktuatif, namun ditutup melemah di rentang Rp15.300-Rp15.360 per USD," kata Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi.
Sebagaimana dilansir dari data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG pada penutupan perdagangan sesi I, Rabu (12/10), melemah di level 6.896 atau turun 0,62 persen.
Sementara dalam riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia bertajuk “Indonesia Strategy, October: Keeping up with the Rising Interest Rates” yang dirilis pada Kamis (6/10) disebutkan, pelemahan rupiah dan kenaikan suku bunga menyebabkan investor asing membukukan arus keluar neto (net sell) dari ekuitas dalam negeri sehingga menurunkan kinerja IHSG.
“Kami memperkirakan bahwa penguatan kurs indeks USD di pasar spot seharusnya sudah mencapai puncaknya karena pasar sudah memperhitungkan kenaikan suku bunga The Fed terbaru, sehingga ekuitas dalam negeri dapat tumbuh positif setelah normalisasi nilai tukar USD dan rupiah,” tulis Analis Mirae Asset Sekuritas, Hariyanto Wijaya, Kamis (6/10).
Rupiah Melemah, Sektor Ini Justru Cuan
Kendati IHSG merosot seiring melemahnya nilai tukar rupiah, sejumlah sektor justru diprediksi akan melesat berkat USD yang menguat.
Riset Mirae Asset menjelaskan, sektor batu bara akan menikmati pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi selama pelemahan rupiah disertai dengan harga komoditas yang sedang melambung.
“Oleh karena itu, kami merekomendasikan perusahaan yang terkait dengan batu bara karena sektor tersebut mampu memonetisasi kinerja rupiah terkini,” tulis Hariyanto.
Adapun sektor batu bara yang menjadi pilihan utama Mirae Asset adalah PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
ADRO menjadi pilihan utama sebab memiliki pertumbuhan pendapatan kuartalan yang kuat dan diproyeksikan akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2022 seiring melesatnya harga batu bara dan rencana emiten dalam meningkatkan volume produksi batu bara di tahun ini.
Menurut riset tersebut, ADRO menargetkan untuk meningkatkan produksinya menjadi 58-60 juta ton atau naik sebesar 10 persen hingga 14 persen secara year on year (yoy).
Selain itu, pemain batu bara lainnya ITMG juga diproyeksikan akan mendapat cuan dari kenaikan harga batu bara dan potensi permintaan yang lebih tinggi dari Uni Eropa (UE) akibat pengalihan impor dari Rusia ke negara eksportir batu bara termasuk Indonesia.
“Kami memproyeksikan pertumbuhan pendapatan ITMG akan menguat dan terus berlanjut hingga kuartalan selanjutnya,” tulis Hariyanto.
Menyusul kedua emiten batu bara di atas, PTBA juga akan membukukan pertumbuhan pendapatan yang melesat di tahun ini berkat keuntungan dari naiknya harga komoditas dan kenaikan volume produksi hingga 21 persen yoy di tahun 2022.
Selain emiten batu bara, emiten alat berat PT United Tractors Tbk (UNTR) juga turut diuntungkan dari melemahnya rupiah terhadap USD.
Sebagai emiten kontraktor penambangan, pendapatan UNTR berpotensi terkerek di tahun ini karena meningkatnya pengangkutan batu bara.
Tak hanya sektor batu bara yang terkena cuan, sektor perbankan juga menerima dampak positif dari pelemahan rupiah. Adapun bank ‘kecipratan’ cuan dari meningkatnya transaksi derivatif dari korporasi untuk kegiatan ekspor dan impor.
Dampak lainnya yakni importir turut meningkatkan hedging-nya ke bank.
Asal tahu saja, hedging adalah transaksi lindung nilai yang dimanfaatkan importir untuk memastikan nilai tukar rupiah saat mengalami pelemahan (depresiasi) maupun memastikan pasokan valuta asing.
Di samping itu, kenaikan suku bunga tentunya meningkatkan minat masyarakat dalam menyimpan uangnya dengan menabung di bank. Dengan demikian, bank akan mendapatkan pendanaan atau funding dari aktivitas masyarakat yang membantu menyeimbangkan pertumbuhan kredit.
Adapun pilihan utama Mirae Asset di sektor bank yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Indonesia (BMRI), dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA).
Menurut riset Mirae Asset, baik BBRI dan BMRI akan mengalami pertumbuhan pendapatan kuartalan di tahun 2022 di tengah meningkatnya pinjaman dari pemulihan ekonomi. Selain itu, Net Interest Margin (NIM) dari kedua bank big caps tersebut juga akan berkembang.
Selain itu emiten bank lainnya BNGA juga akan menghasilkan Return on Equity (ROE) dan pertumbuhan pendapatan dua digit lebih tinggi di tahun penuh 2023 mendatang. Sementara di periode tersebut, pertumbuhan pinjaman BNGA juga diprediksi akan menguat.