sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Inflasi AS dan China Kompak Naik, Bagaimana Dampaknya ke Pasar?

Market news editor Maulina Ulfa
13/03/2024 13:00 WIB
Dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan China, baru saja merilis data inflasi bulanan dan tahunan, tepatnya pada Minggu (9/3/2024) dan Selasa (12/3).
Inflasi AS dan China Kompak Naik, Bagaimana Dampaknya ke Pasar? (Foto: Freepik)
Inflasi AS dan China Kompak Naik, Bagaimana Dampaknya ke Pasar? (Foto: Freepik)

Pekan lalu, Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa penurunan suku bunga mungkin tidak akan lama lagi. Meski demikian, ia menegaskan bank sentral masih membutuhkan data perekonomian lebih lanjut untuk memastikan inflasi kembali bergerak menuju target 2 persen.

Pada saat bersamaan, harga emas pada perdagangan Selasa (12/3) juga sempat anjlok di akhir sesi setelah laporan inflasi AS dan melonjaknya imbal hasil obligasi Treasury AS.

Logam kuning tersebut turun tajam lebih dari 1 persen, diperdagangkan pada USD2.157.00 per troy ons setelah sempat mencapai level tertinggi USD2.184.76.

Emas di pasar spot kemudian mengalami rebound pada perdagangan Rabu (13/3/2024) dan diperdagangkan di sekitar USD2.159 per troy ons, naik 0,1 persen.

Emas diperkirakan akan mendapatkan keuntungan dari penurunan suku bunga besar-besaran pada tahun ini. Keyakinan pasar ini menjadi pendorong utama kenaikan logam kuning tersebut dalam beberapa sesi terakhir.

Di China, indeks Shanghai Composite sempat melonjak 0,74 persen pada penutupan perdagangan Senin (10/3) pasca rilis data inflasi. Sementara indeks Shenzhen menguat 2,27 persen pada sesi yang sama, dengan saham-saham daratan menetap di level tertinggi tiga bulan karena data inflasiyang optimis meningkatkan sentimen pasar.

Lingkungan ekonomi China yang mengalami deflasi dan pemulihan ekonomi yang rapuh meningkatkan spekulasi bahwa pihak berwenang akan melonggarkan kebijakan lebih lanjut. Namun angka inflasi konsumen yang kuat mengaburkan prospek tersebut.

Peningkatan penting terlihat dari perusahaan-perusahaan kelas berat seperti Contemporary Amperex (14,5 persen), Seres Group (7,5 persen) dan Foxconn Industrial (3,8 persen).

Regulator China juga dilaporkan bertemu dengan bank-bank untuk meningkatkan dukungan keuangan bagi perusahaan properti yang didukung negara seperti China Vanke.

Meski demikian, para analis memperkirakan kenaikan inflasi ini sebagian didorong oleh liburan Tahun Baru Imlek, yang jatuh pada Februari tahun ini.

“Saya pikir masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa deflasi di China telah berakhir. Permintaan dalam negeri masih cukup lemah,” kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom Pinpoint Asset Management.

China sebelumnya masih berjuang melawan pelemahan harga hampir sepanjang tahun lalu karena kemerosotan properti, krisis pasar saham, dan melemahnya sentimen konsumen.

Bank Rakyat China (PBOC) juga telah memangkas suku bunga beberapa kali dengan harapan dapat meningkatkan pinjaman bank dan mengembalikan inflasi ke targetnya sebesar 3 persen. Namun CPI hanya mencapai 0,2 persen pada tahun 2023, jauh di bawah target resmi.

Deflasi China juga berdampak buruk bagi perekonomian karena mendorong konsumen dan perusahaan menunda pembelian atau investasi untuk mengantisipasi penurunan harga lebih lanjut.

Hal ini, pada gilirannya, dapat menciptakan lingkaran setan dan mengakibatkan berkurangnya pengeluaran, lebih banyak pengurangan bisnis, dan meningkatnya pengangguran.

“Kami memperkirakan inflasi CPI akan turun menjadi 0,4 persen tahun-ke-tahun di bulan Maret,” kata analis Nomura pada hari Senin dalam sebuah laporan penelitian. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement