Rizal mengatakan, dengan spin-off AADI, otomatis ADRO hanya berfokus pada Adaro Green dan ADMR.
"Kami menghitung implied market cap AADI dengan menggabungkan antara porsi market cap IPO dan PUPS, sehingga menghasilkan nilai Rp46,5 triliun, serta annualized net income AADI sebesar Rp27,3 triliun, sehingga menghasilkan implied PE sebesar 1,7x di 2024 relatif atraktif (peers: 4,9x)," tuturnya.
Rizal telah melakukan perhitungan jika investor ADRO melakukan penebusan PUPS AADI dengan menggunakan hasil dividen yang diperoleh, serta asumsi jika investor menjual saham ADRO di harga rata-rata perdagangan Selasa kemarin di level Rp2.350.
"Maka investor akan mendapatkan return -5,8 persen sampai dengan +5,4 persen dengan asumsi bahwa harga AADI di -20 persen sampai 20 persen (maksimum ARB dan ARA di hari pertama)," ujar Rizal.
"Namun, jika investor ADRO tidak melakukan penebusan PUPS, investor hanya mendapatkan return +1,1 persen dengan asumsi investor menjual saham ADRO pada Selasa di level yang sama (belum termasuk pajak dividen)," katanya.
Prospek ADRO Usai Divestasi AADI
ADRO akan menggunakan sebagian besar dana hasil spin-off untuk keperluan ekspansi pada energi hijau melalui Adaro Green. Sedangkan dana IPO AADI 40 persen digunakan untuk pinjaman ke anak usaha MBP untuk investasi dan kegiatan korporasi, sedangkan 60 persen untuk pembayaran sebagian utang (USD140 juta).
Rizal memperkirakan ADRO berpotensi mengalami penurunan pendapatan pada 2024 sebesar sekitar -91 persen YoY setelah melakukan spin-off yang disebabkan karena kehilangan bisnis utamanya, yaitu penjualan batu bara thermal.
"Di sisi lain, laba bersih ADRO juga berpotensi turun skeitar -86% YoY, di mana penurunan laba bersih yang lebih kecil dibandingkan pendapatan kami estimasikan karena terdapat pengurangan dari beban pajak penghasilan," tuturnya.
ADRO sedang mengembangkan PLTA terbesar di Indonesia di Kalimantan Utara, dengan kapasitas yang direncanakan sebesar 1.375 MW. Pembangkit ini diharapkan dapat menghasilkan sekitar 9 TWh setiap tahunnya, dijadwalkan selesai pada 2030, yang direncanakan untuk menyuplai listrik di kawasan Kaltara Industrial Park, dengan capex sekitar USD5 miliar.
Proyek IPP tenaga angin di Kalimantan Selatan juga sedang berjalan dengan kapasitas 70 MW. Proyek ini akan mencakup BESS sebesar 10 MWh dan diharapkan dimulai pada 2025.
Selain itu, perseroan juga memiliki proyek smelter aluminium, di mana fase 1 dengan kapasitas 500 ribu ton diperkirakan mulai beroperasi pada akhir 2025. Capex direncanakan sebesar USD1,5 miliar untuk fase ini.