IDXChannel - Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Selasa-Rabu, 23-24 April 2024.
Selama dua pekan terakhir, BI mendapat tekanan dari pasar untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga di tengah gejolak makroekonomi yang terjadi.
Diketahui sebelumnya, kinerja pasar keuangan dalam sepekan terakhir ambles seiring konflik Timur Tengah yang semakin memanas pasca serangan drone misil Iran ke Israel.
Kondisi makin runyam ketika Jerome “Jay” Powell dalam pidato terbarunya mengisyaratkan untuk tak buru-buru memangkas suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Di Indonesia, rupiah paling tertekan dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok imbas aksi jual asing tiada henti melanda saham-saham big cap perbankan. Terlebih, data ekspor terbaru masih belum menunjukkan penguatan terhadap neraca dagang RI sejak April 2023.
Di Asia, kebijakan terbaru Bank Rakyat China (PBOC) adalah mempertahankan suku bunga pinjaman satu tahun dan lima tahun masing-masing sebesar 3,45 persen dan 3,95 persen pada Senin (22/4).
Suku bunga dasar pinjaman (LPR) 1 tahun menjadi acuan sebagian besar pinjaman korporasi dan rumah tangga. Sementara itu, suku bunga lima tahun menjadi acuan untuk hipotek properti.
Kedua suku bunga tersebut berada pada rekor terendah karena pemerintah berupaya untuk menopang pertumbuhan ekonomi dengan menjaga kondisi moneter lokal dalam menghadapi tantangan dari sektor properti, dan tren deflasi yang masih terus berlanjut.
Keputusan tersebut diambil setelah negara ekonomi terbesar kedua tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi lebih cepat dari perkiraan pada kuartal pertama 2024 di tengah melemahnya yuan.
Kini, bank sentral di kawasan Asia Pasifik kini dihadapkan pada pilihan sulit dalam kebijakan suku bunga.
Harapan penurunan suku bunga acuan di kawasan Asia, termasuk Indonesia, semakin pudar tahun ini. Inflasi AS yang masih tangguh membuat The Fed semakin ragu menurunkan suku bunga.
Pasar Keuangan Merana, IHSG Bisa ke 6.900
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun tajam 2,30 persen selama sepekan, ditutup di level 7.087,32 hingga Jumat (19/4).
Secara year to date (YTD) hingga penutupan perdagangan Senin, (22/4), IHSG bahkan sudah tertekan 2,68 persen dan dalam sebulan terkoreksi 3,46 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Secara umum, investor mencatatkan angka jual bersih (net sell) yang tinggi, mencapai Rp3,92 triliun di pasar reguler dan Rp3,97 triliun di pasar negosiasi dan pasar tunai selama minggu lalu.
Saham bank BUMN PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) mencatatkan net sell asing terbesar selama sepekan, yakni mencapai Rp1,3 triliun. Harga saham BBRI pun turun tajam 7,46 persen dalam periode tersebut.
Menghadapi situasi ini, Algo Research bahkan sejak Maret lalu berpandangan IHSG bisa kembali di rentang 6.850-6.900.
“Pandangan kami masih netral dengan bias condong ke bawah karena katalisnya masih ada di IHSG. Perhatikan kesenjangan teknis di level 6.850-6.900 (-6 persen) yang tercipta pada tanggal 23 November ketika saham-saham berkapitalisasi besar mulai menguat karena pasar terlalu gembira dengan prospek poros The Fed,” tulis Algo, (3/3).
Algo Research menambahkan, perusahaan-perusahaan berkapitalisasi besar yang telah mendorong kenaikan IHSG seperti perbankan kemungkinan akan berhenti sejenak karena normalisasi ekspektasi keuntungan pada tahun ini.
Rupiah Bisa Tembus Rp17.000 per USD
Sementara rupiah ditutup merana di level Rp16.249 per dolar AS pada perdagangan jelang akhir pekan lalu.
Melansir Bloomberg, nilai tukar rupiah mendekati titik terendah di era pandemi, sehingga memberikan tekanan pada bank sentral Indonesia untuk menaikkan suku bunga.
Wells Fargo Securities memprediksi, mata uang Garuda diprediksi bisa jatuh menuju Rp16.500 per dolar karena mundurnya perkiraan penurunan suku bunga The Fed.
Ahli strategi di Brown Brothers Harriman & Co. bahkan melihat rupiah bisa mencapai angka 17.000 terhadap greenback pada September nanti.
Kelemahan ini memperkuat alasan bagi BI untuk melanjutkan pengetatan kebijakan pada pertemuan Rabu esok hari setelah gagalnya intervensi dalam membendung pelemahan nilai tukar rupiah.
Para investor kini mengantisipasi hasil yang hawkish, dengan selisih antara imbal hasil (yield) dua tahun yang sensitif terhadap suku bunga dan kebijakan suku bunga melebar ke tingkat yang terakhir terlihat pada Oktober 2023 ketika bank sentral secara tak terduga menaikkan suku bunga.
“Tekanan depresiasi Rupiah akan bertahan jika mereka bersikap hawkish. Pengetatan tambahan adalah tindakan terbaik,” kata Brendan McKenna, ahli strategi mata uang negara berkembang di Wells Fargo.
Mata uang Rupiah telah merosot 5,33 persen sepanjang tahun ini ke level terlemahnya sejak April 2020.
Laju depresiasi meningkat pada bulan ini menyusul mundurnya ekspektasi terhadap pelonggaran The Fed dan ketegangan di Timur Tengah.
Para ekonom berbeda pendapat dalam memperkirakan keputusan suku bunga BI esok hari. Dari 22 responden yang disurvei oleh Bloomberg, tujuh memperkirakan kenaikan sebesar seperempat poin, sementara sisanya memperkirakan tidak ada perubahan sebesar 6 persen.
Arus keluar modal juga mencapai USD1,8 miliar dari pasar obligasi negara di tengah kekhawatiran terhadap rencana belanja Presiden terpilih Prabowo Subianto yang juga telah membebani rupiah.
Repatriasi asing atas pembayaran dividen musiman, serta berkurangnya surplus perdagangan menambah kesengsaraan mata uang Garuda.
BI sendiri melakukan berbagai cara untuk menstabilkan nilai tukar, termasuk intervensi langsung serta menaikkan imbal hasil surat berharga rupiah untuk menarik arus asing.
Pemerintah juga mengatakan kepada perusahaan-perusahaan milik negara untuk menahan diri melakukan pembelian dolar dalam jumlah besar untuk kebutuhan impor atau pembayaran utang.
Namun, ketika menguatnya dolar terus berlanjut, mengandalkan alat-alat non-tarif tersebut diprediksi tidak cukup.
“Peningkatan menuju angka 17.000 akan terjadi secara perlahan, karena Bank Indonesia akan meredam penurunan tersebut. Tetapi tanpa ada kenaikan suku bunga, hal itu mungkin tidak membantu,” kata Elias Haddad, ahli strategi pasar senior di Brown Brothers Harriman.
Ekspor Lesu
Data ekspor terbaru yang belum menggembirakan juga bisa menjadi tekanan tambahan bagi pasar keuangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat perkembangan nilai ekspor Indonesia pada Maret 2024 mencapai USD22,43 miliar, naik 16,40 persen dibandingkan Februari 2024 yang mencapai USD19,31 miliar.
Namun, nilai ekspor ini turun 4,19 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (yoy). (Lihat grafik di bawah ini.)
Nilai ekspor migas tercatat USD1,29 miliar atau naik 5,62 persen. Nilai ekspor non migas juga naik sebesar 17,12 persen dengan nilai USD21,15 miliar.
Kenaikan ekspor nonmigas ini terjadi karena penguatan ekspor logam mulia, dan perhiasan, permata dengan andil 4,85 persen.
Ekspor nonmigas juga ditopang oleh besi baja dengan andil sebesar 2,35 persen, serta lemak dan minyak hewan atau nabati dengan andil 1,71 persen.
Sementara itu, secara tahunan, ekspor seluruh sektor meningkat kecuali sektor pertambangan dan lainnya yang turun sebesar 19,72 persen.
"Kinerja ekspor beberapa komoditas unggulan indonesia yaitu batu bara besi dan baja serta CPO dan turunanya. Nilai ekspor tiga komoditas ini menyumbang share 29,54 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia pada Maret 2024," ujar Plt. Kepala BPS Amalia A. Widyasari.
BPS juga mencatat total ekspor pada periode Januari-Maret 2024 mencapai USD62,20 miliar atau turun 7,25 persen, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. (ADF)