Surplus neraca perdagangan diproyeksikan terkoreksi seiring dengan melemahnya permintaan global. Sedangkan, tingkat suku bunga BI diprediksi tetap di level 5,75% mengingat angka inflasi tahunan pada Maret 2023 sebesar 4,97% yoy, alias telah turun dan terkendali dibandingkan dengan periode sebelumnya.
"Kembali terapresiasinya rupiah terhadap dolar AS juga menjadi pertimbang suku bunga tetap di level tersebut. IHSG minggu ini diproyeksikan bergerak sideways pada range 6.750- 6.890," terang Ratih dalam risetnya.
Sebelumnya, sejumlah katalis makro mewarnai perdagangan pasar modal RI. Angka inflasi China pada Maret 2023 berada di level 0,7% YoY, lebih rendah dari perolehan bulan sebelumnya sebesar 1% YoY dan masih jauh dibawah target Bank Sentral China (PBoC) sebesar 3%.
Sementara itu, tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) pada Maret 2023 secara tahunan telah mereda di level 5% YoY, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 6% YoY. Walaupun telah turun, raihan inflasi tersebut masih diatas target The Fed sebesar 2%. Di sisi lain turunnya angka inflasi akibat suku bunga The Fed yang telah di level 4,75-5% berpotensi melemahkan perekonomian AS.
Ratih menilai rilis data ekonomi China dan AS jadi katalis negatif bagi Indonesia khususnya pada neraca perdagangan. "Karena China dan AS menjadi pangsa pasar ekspor non migas terbesar Indonesia dengan persentase masing-masing 23% dan 10% di sepanjang tahun 2022," pungkasnya.
(YNA)