IDXChannel - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup menguat pada akhir perdagangan Rabu (24/9/2025), turun 3 poin atau sekitar 0,02 persen ke level Rp16.684 per dolar AS. Adapun rupiah sebelumnya sempat dibuka menguat ke Rp16.679.
Menurut pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, Ketegangan geopolitik semakin mendukung sentimen seputar risiko pasokan yang lebih ketat. Ketegangan geopolitik semakin mendukung sentimen seputar risiko pasokan yang lebih ketat.
Presiden AS Donald Trump mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa negara-negara NATO harus menembak jatuh pesawat Rusia jika mereka melanggar wilayah udara aliansi dan mengatakan Ukraina dapat merebut kembali seluruh wilayahnya dari Rusia.
“Pernyataan tersebut menandai perubahan retorika yang tajam dalam sikap Washington dan dianggap meningkatkan risiko sanksi lebih lanjut terhadap ekspor energi Rusia, yang dapat menekan pasokan global,” kata Ibrahim dalam risetnya.
Sementara itu, sebuah laporan Bloomberg menyatakan bahwa otoritas Rusia sedang mempertimbangkan pembatasan ekspor diesel oleh beberapa perusahaan menyusul serangkaian serangan pesawat nirawak Ukraina terhadap fasilitas energi.
Selain itu, Ketua The Fed Jerome Powell menekankan tantangan menyeimbangkan pengendalian inflasi dengan risiko ketenagakerjaan dalam pidatonya pada hari Selasa. Ia menyoroti tidak adanya "jalur bebas risiko" saat The Fed menavigasi inflasi yang persisten dan pertumbuhan lapangan kerja yang melemah.
Menyusul pernyataan Powell, Presiden Federal Reserve Bank of Chicago Austan Goolsbee menyatakan bahwa The Fed memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga jika inflasi terus menurun. Namun, ia memperingatkan agar tidak melakukan penurunan suku bunga yang agresif karena risiko inflasi yang persisten.
Pasar memperkirakan dua penurunan suku bunga lagi tahun ini, sejalan dengan arahan bank sentral. Powell enggan memberikan sinyal yang jelas mengenai waktu penurunan suku bunga berikutnya, membuat pasar ragu tentang arah kebijakan The Fed di masa mendatang.
Dari sentimen dalam negeri, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. OECD memperkirakan ekonomi mampu mencapai level 4,9 persen pada 2025 dan 2026.
Proyeksi itu lebih tinggi 0,2 poin persentase dibanding laporan Juni 2025, dan untuk 2026 lebih tinggi 0,1 poin persentase.
OECD melihat, pelonggaran kebijakan moneter dan investasi publik yang kuat diharapkan dapat mendukung perekonomian Indonesia, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 4,9 persen yang diproyeksikan untuk tahun 2025 dan 2026.
Kemudian, pelonggaran kebijakan moneter yang memberi ruang lebih pada aktivitas ekonomi. Sementara itu, investasi publik yang kuat menopang pembangunan infrastruktur, serta konsumsi domestik yang tangguh dan tetap menjadi motor penggerak utama.
Selain itu, rebound investasi diperkirakan ikut mendorong momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah perlambatan global. Namun, OECD mengingatkan masih ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai. OECD melihat perdagangan global dapat mengurangi kinerja ekspor Indonesia.
OECD juga memperkirakan tekanan inflasi Indonesia juga akan terkerek naik. Inflasi di Indonesia diproyeksikan naik tipis dari 1,9 persen pada 2025 menjadi 2,7 persen pada 2026. Penyebabnya, ialah depresiasi kurs rupiah yang terus terjadi.
Berdasarkan analisis tersebut, Ibrahim memprediksi bahwa mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif pada perdagangan selanjutnya dan berpotensi ditutup menguat dalam rentang Rp16.680 - Rp16.730 per dolar AS.
(kunthi fahmar sandy)