sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Saham Konglo Prajogo Cs Masih Tertekan, Analis Bongkar Penyebabnya

Market news editor TIM RISET IDX CHANNEL
28/10/2025 10:34 WIB
Saham-saham emiten big cap milik para konglomerat kembali tertekan pada Selasa (28/10/2025), setelah sehari sebelumnya kompak anjlok.
Saham Konglo Prajogo Cs Masih Tertekan, Analis Bongkar Penyebabnya. (Foto: Freepik)
Saham Konglo Prajogo Cs Masih Tertekan, Analis Bongkar Penyebabnya. (Foto: Freepik)

IDXChannel – Saham-saham emiten big cap milik para konglomerat kembali tertekan pada Selasa (28/10/2025), setelah sehari sebelumnya kompak anjlok.

Tekanan tajam pada Senin (27/10) dipicu respons negatif pasar terhadap rencana MSCI yang tengah mempertimbangkan penggunaan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dalam perhitungan porsi free float saham.

Sentimen tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa perubahan metodologi itu dapat mengurangi bobot sejumlah saham besar dalam indeks MSCI.

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 10.16 WIB, saham-saham Grup Barito besutan Prajogo Pangestu masih cenderung terkoreksi.

Sebut saja, saham PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) melemah 2,03 persen ke Rp7.250 per unit, PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) minus 0,99 persen, PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) tergerus 0,28 persen, dan PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) yang melemah 0,57 persen.

Berbeda, saham PT Petrosea Tbk (PTRO) rebound tipis 0,39 persen dan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) terkerek 1,52 persen.

Saham energi Grup Sinarmas PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) juga kembali turun 3,72 persen. Demikian pula, saham emiten tambang Grup Salim PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) yang terdepresiasi 3,12 persen dan emiten properti milik Aguan-Salim PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) yang merosot 2,01 persen.

Namun, beberapa saham konglomerat juga berusaha pulih. Seperti saham emiten milik Happy Hapsoro, RAJA dan RATU, yang masing-masing rebound 4,63 persen dan 4,01 persen. Kemudian, saham Grup Bakrie, seperti BUMI naik 5,30 persen, BRMS 1,73 persen, DEWA 2,70 persen, dan ENRG 1,83 persen.

Pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai tekanan yang terjadi tidak hanya terbatas pada saham milik Prajogo Pangestu. Menurutnya, fenomena ini mencerminkan koreksi yang lebih luas di saham-saham konglomerasi.

“Sebenarnya, bukan hanya saham Prajogo, tapi menjadi highlight karena dikenal lebih akrab oleh investor. Saham-saham konglo lain seperti DSSA, RAJA, dan RATU juga ikut terkoreksi pada Senin menyusul pemberitaan MSCI soal revisi metode free float,” ujar Michael, Selasa (28/10/2025).

Ia menambahkan, dari sisi teknikal, pergerakan harga memang sudah menunjukkan tanda jenuh beli. “Secara teknikal, saham-saham konglo memang sudah mencapai overbought. Koreksi diperlukan untuk membentuk landasan atau area akumulasi kembali,” katanya.

Michael juga mengingatkan investor agar mencermati arah kebijakan MSCI selanjutnya. “Secara story, investor perlu memperhatikan kelanjutan dari metode perhitungan MSCI ini yang akan diumumkan pada 30 Januari 2026,” ujarnya.

Sebelumnya, analis Trimegah Sekuritas, Kharel Devin Fielim, menilai kejatuhan tajam saham-saham konglomerat pada Senin lebih dipicu kepanikan sesaat di pasar.

“Tadi panic selling [aksi jual panik] berlebihan aja karena retail-retail panik,” ujarnya, Senin (27/10/2025).

Sementara, Founder WH Project, William Hartanto, menilai penurunan tajam saham konglomerat pada awal pekan ini masih tergolong wajar.

“Wajar, karena jadi ada ketidakpastian lagi di pasar,” ujar William, Senin (27/10).

Meski demikian, ia menilai tekanan yang terjadi belum mengubah arah utama pergerakan saham-saham konglomerat. “Tapi penurunan seperti ini masih dalam batas aman,” katanya.

William menambahkan, peluang penguatan masih terbuka di tengah volatilitas yang terjadi.

“Sejauh ini, bisa dikatakan tren saham konglomerat belum berakhir. Masih ada peluang penguatan,” imbuh dia.

MSCI Pertimbangkan Gunakan Data KSEI

MSCI tengah menjajaki penggunaan laporan Monthly Holding Composition milik Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sebagai referensi tambahan dalam menghitung porsi free float saham emiten Indonesia. Rencana ini masih dalam tahap konsultasi dengan para pelaku pasar.

Mengutip penjelasan Stockbit Sekuritas, selama ini, BEI hanya mewajibkan emiten melaporkan pemegang saham dengan kepemilikan minimal 5 persen.

Sementara itu, data KSEI mencakup kepemilikan di bawah 5 persen serta klasifikasi pemegang saham, sehingga dinilai dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai struktur kepemilikan saham.

Dalam usulannya, MSCI berencana menentukan estimasi free float berdasarkan nilai terendah antara hasil perhitungan yang mengikuti metodologi MSCI dan estimasi yang menggunakan data KSEI. Dalam estimasi berbasis KSEI, saham script serta kepemilikan oleh korporasi dan kategori ‘others’ (lokal maupun asing) akan diklasifikasikan sebagai non-free float.

Sebagai alternatif, MSCI mengusulkan estimasi free float berdasarkan data KSEI, yaitu dengan mengklasifikasikan saham script dan kepemilikan 'korporasi' (tanpa menghitung ‘others’) sebagai non-free float.

MSCI akan menerima masukan hingga 31 Desember 2025 dan mengumumkan hasil konsultasi sebelum 30 Januari 2026. Jika disetujui, perubahan metodologi tersebut akan diterapkan pada index review Mei 2026. (Aldo Fernando)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

Halaman : 1 2 3 4 5
Advertisement
Advertisement