IDXChannel – Saham PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa (all-time high/ATH) pada perdagangan Selasa (15/7/2025), seiring meningkatnya optimisme investor terhadap keterlibatan Grup Djarum dan prospek proyek kawasan industri yang digarap perseroan.
Menurut pada data Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga penutupan sesi I, saham SSIA melambung 15,45 persen ke level Rp2.690 per unit, usai sempat menyentuh ATH di level Rp2.780. Saham ini sudah tiga hari berturut-turut menguat dan mencetak rekor demi rekor.
Dalam sepekan, saham SSIA terbang 58,24 persen dan dalam sebulan meroket 139,11 persen.
Grup Djarum Jadi Investor
Sebelumnya, PT Dwimuria Investama Andalan, kendaraan investasi milik Grup Djarum, tercatat ke dalam daftar pemegang saham di atas lima persen di SSIA.
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 4 Juli 2025, Dwimuria menggenggam 5,27 persen saham SSIA atau setara 247,99 juta saham. Sehari sebelumnya, nama Dwimuria belum tercatat dalam data KSEI.
Dwimuria Investama dikenal sebagai pemegang saham pengendali PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan kepemilikan mencapai 54,94 persen.
Perusahaan investasi ini juga memiliki 8,32 persen saham di PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), emiten yang bergerak di bidang menara telekomunikasi, yang juga masih terafiliasi dengan Grup Djarum.
Tak hanya itu, Dwimuria juga tercatat membeli seluruh saham hasil pembelian kembali (buyback) milik PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL). Aksi korporasi ini dilakukan di luar Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 25 Juni 2025.
Sebagai catatan, Dwimuria Investama merupakan perusahaan investasi milik dua orang terkaya di Indonesia, Hartono Bersaudara—Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono.
SSIA dan Proyek BYD di Subang
Proyek kawasan industri Subang Smartpolitan milik SSIA terus menunjukkan progres positif. Dalam riset terbarunya yang dirilis 26 Juni 2025, Ciptadana Sekuritas Asia mengungkapkan bahwa fasilitas baru milik BYD di kawasan tersebut ditargetkan mulai beroperasi pada Januari 2026.
BYD, produsen kendaraan listrik asal China, akan menempati lahan seluas 108 hektare di Tahap 2 Subang Smartpolitan. Tak hanya itu, BYD juga telah mengakuisisi tambahan lahan di fase yang sama untuk mendukung ekspansi operasionalnya.
Sebelumnya, Subang Smartpolitan telah menyambut tenant pertamanya, PT Sanwa Musen Indonesia, produsen komponen elektronik asal Jepang yang beroperasi di lahan seluas 2 hektare. Di lokasi yang berdekatan, PT Kids Play Indonesia, perusahaan asal China, tengah membangun fasilitas manufaktur seluas 10 hektare dengan total investasi USD60 juta atau sekitar Rp982 miliar.
Ciptadana Sekuritas Asia mencatat, daya tarik kawasan ini terus meningkat, terutama berkat infrastruktur yang berkembang pesat serta biaya tenaga kerja yang lebih kompetitif dibanding kawasan industri lainnya. SSIA menargetkan penjualan lahan mencapai 137 hektare pada 2025, setelah sebelumnya mencatatkan 178 hektare pada 2024. Dari target tersebut, sekitar 120 hektare diharapkan berasal dari Subang Smartpolitan.
Dalam kunjungan ke lokasi, Ciptadana Sekuritas menilai pengembangan infrastruktur di kawasan ini berjalan baik, mencakup pembangunan jalan, jaringan utilitas bawah tanah, serta fasilitas pengolahan air. Kendati demikian, akses logistik masih menjadi tantangan utama. Namun, proyek Jalan Tol Akses Patimban yang sedang berjalan diyakini akan menjadi katalis positif. Jalan tol sepanjang 37,05 km itu ditargetkan beroperasi pada kuartal I-2026.
Setelah tol ini rampung, waktu tempuh dari Subang Smartpolitan ke Pelabuhan Patimban diperkirakan hanya sekitar satu jam, jauh lebih singkat dibanding waktu tempuh saat ini yang mencapai 90 hingga 120 menit. Konektivitas ini diperkirakan akan meningkatkan efisiensi logistik kawasan, sekaligus memberikan keunggulan kompetitif dibanding kawasan industri lain seperti Karawang, yang saat ini membutuhkan waktu sekitar empat jam untuk mengakses Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta Utara.
Meski demikian, Ciptadana Sekuritas memangkas proyeksi pendapatan SSIA untuk 2025 dan 2026 masing-masing sebesar 14,6 persen dan 20,1 persen, menjadi Rp5,48 triliun dan Rp5,59 triliun, akibat perlambatan pencatatan penjualan properti. Namun, dampaknya terhadap NAV dinilai minim.
Riset ini juga memperkirakan sekitar 18 hektare dari total 100 hektare lahan hasil pembelian BYD baru akan diakui pada kuartal III-2025, menyusul pencatatan delapan hektare yang telah dilakukan pada 2024. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.