IDXChannel - Pertumbuhan investor pasar modal Indonesia cukup mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak berdirinya, pasar modal RI telah mencatatkan berbagai aktivitas perdagangan modal yang melibatkan banyak investor asing maupun domestik, serta dan sebagai saksi sejarah perjalanan pembangunan ekonomi Indonesia.
Pasar modal juga memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian nasional.
Kehadiran bursa saham memiliki beberapa fungsi di antaranya sebagai instrumen bagi upaya modal perusahaan, instrumen pemerataan pendapatan yang adil, sarana untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, dan sebagai indikator ketahanan perekonomian suatu negara.
Dalam sejarahnya, mengutip Bursa Efek Indonesia (BEI) pasar modal di Indonesia telah hadir jauh bahkan sebelum era kemerdekaan.
Awal kehadiran di Indonesia, pasar modal hadir sejak jaman kolonial Belanda tepatnya pada 1912 di Batavia.
Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.
Perkembangan pasar modal pasca kemerdekaan sempat mengalami kevakuman pada periode 1956 hingga 1977. Sejumlah faktor internasional seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, hingga kurang stabilnya kondisi sosial ekonomi politik menyebabkan operasi bursa saham tidak dapat berjalan dengan seharusnya.
Pemerintah RI kembali mengaktifkan pasar modal tepatnya pada 10 Agustus 1977 dengan nama Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang berjalan dibawah Badan Pelaksana Pasar Modal dan diresmikan oleh presiden Soeharto.
Sebagai salah satu indikator ekonomi RI, BEJ yang saat ini telah menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami masa-masa penting perkembangan dan pertumbuhan, terutama dari sisi jumlah investor.
Era Orde Baru hingga Reformasi
Di awal pengaktifan kembali pasar modal RI pada 1987, jumlah emiten kala itu yang listing baru mencapai 24 perusahaan. Pasar modal belum terlalu dikenal dan digandrungi secara luas. Masyarakat juga masih lebih mempercayai instrumen perbankan ketimbang instrumen pasar modal.
Krisis finansial yang melanda Asia pada 1997 merubah lansekap pasar modal RI. Liberalisasi finansial membuat pasar modal lebih matang dan berkembang dengan lahirnya banyak pembaharuan dan peraturan pendukung.
Meski mulai berkembang, namun jumlah investor yang menanamkan modalnya di BEI masih cukup terbatas.
Penelitian Isya Hanum pada 2008 menyimpulkan, demografi investor domestik hingga akhir 2006 masih sangat terbatas hanya mencapai 100 ribuan orang. Artinya, hanya 0,05 persen saja masyarakat RI yang menanamkan modal di bursa saham.
Angka tersebut bahkan lebih kecil jika dibandingkan dengan Jepang yang investornya mencapai 27 persen, Singapura 20 persen atau Korea Selatan 8 persen.
Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) hingga 2004 menunjukkan, kepemilikan saham di pasar modal domestik masih didominasi oleh pihak asing, sementara masyarakat hanya memiliki 25 persen saja. (Lihat tabel di bawah ini.)
Era Digitalisasi
Memasuki dekade 2010 ke atas, pertumbuhan investor pasar modal kian menunjukkan tren kenaikan.
Ini berkat adanya perkembangan teknologi dan digitalisasi yang semakin mempermudah operasional pasar modal.
Saat ini, membeli saham bak membeli kacang goreng, saking mudahnya. Banyak aplikasi daring telah berkembang dan semakin memudahkan investor dalam memesan berbagai instrumen investasi baik saham, obligasi hingga reksa dana untuk kebutuhan investasi maupun trading harian.
Mengutip KSEI, pada 2012, BEI mulai menerapkan Single Investor Identification (SID) sebagai upaya untuk memastikan jumlah investor pasar modal. Sejak saat itu, jumlah investor saham RI melesat. (Lihat grafik di bawah ini.)
Tahun 2017 menandai jumlah investor BEI mencapai satu juta di mana empat tahun kemudian, jumlah tersebut meningkat hingga kurang lebih tujuh kali lipat.
Datangnya pandemi Covid-19 tak menyurutkan antusiasme para investor untuk membeli saham. Jumlah investor bursa hingga 2020 mencapai 3,9 juta.
Ini artinya, pertumbuhan investor pasar modal mencapai 3946 persen sepanjang 2012 hingga pertengahan 2023. Angka ini kemungkinan akan terus bertambah seiring dengan mudahnya berinvestasi.
Mengutip data KSEI, sebaran investor pasar modal didominasi oleh pulau Jawa sebesar 68,99 persen, pulau Kalimantan sebesar 5,28 persen, pulau Sulawesi sebesar 4,64 persen, pulau Sumatra sebesar 16,64 persen, Bali, NTB, dan NTT sebesar 3,40 persen, serta Maluku dan Papua sebesar 1,05 persen.
Secara total, penghimpunan dana dari pasar modal hingga 28 Juli 2023 mencapai Rp157,16 triliun, dengan jumlah emiten baru tercatat sebanyak 48 perusahaan.
Adapun, nilai emisi emiten yang melantai juga lebih tinggi dibandingkan pencapaian periode 2022 dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dan ke-4 global pada semester I/2023. (ADF)