Menurut Bhima, maksud dari fase ESG scope 1 yang sekarang ini baru dilakukan di Indonesia, yaitu penghematan energi.
Sementara, pada scope 3 seperti pembahasan terkait dengan rantai pasok yang perlu dipastikan mematuhi standar lingkungan dan tata kelola yang baik, dalam pandangan Bhima, masih belum terlaksana secara baik.
"Untuk scope 3 memang perlu didorong. Sebagai contoh, perusahaan baterai kendaraan listrik harus memastikan bahan baku nikel diperoleh dari sumber yang tidak menimbulkan dampak lingkungan negatif, dan memberi perlindungan yang baik ke para pekerja," tutur Bhima.
Ke depan, Bhima menjelaskan, perlu diantisipasi adanya standar disclosure atau keterbukaan sustainibility risk bagi perusahaan publik, dalam rangka penerapan International Financial Reporting Standards (IFRS) 1 dan 2.
Dalam pandangan Bhima, kalangan pengusaha juga perlu dituntut untuk membuka perkembangan ESG kepada investor publik, sehingga ada monitor yang ketat terhadap rating dan klaim ESG.