sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Soal Divestasi Saham Vale Indonesia (INCO), Pengamat Titipkan Ini ke Pemerintah

Market news editor Taufan Sukma/IDX Channel
04/08/2023 16:03 WIB
Bhima menyarankan agar pemerintah dapat menyelaraskan implementasi ESG yang sudah berjalan baik di lingkup operasional INCO.
Soal Divestasi Saham Vale Indonesia (INCO), Pengamat Titipkan Ini ke Pemerintah (foto: MNC Media)
Soal Divestasi Saham Vale Indonesia (INCO), Pengamat Titipkan Ini ke Pemerintah (foto: MNC Media)

IDXChannel - Rencana pemerintah untuk mendorong divestasi saham PT Vale Indonesia Tbk oleh PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) terus jadi sorotan bagi banyak pihak.

Termasuk juga terkait penerapan prinsip Tata Kelola Lingkungan, Sosial, dan Perusahaan (ESG) Environmental, Social, and Corporate Governance (ESG) di emiten berkode saham INCO tersebut.

Hal ini dinilai menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah bila nantinya mayoritas saham INCO benar-benar bisa dikuasai oleh pemerintah lewat MIND ID.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adinegara, tren penerapan ESG di Indonesia memang sudah dimulai, namun sebagian lainnya masih parsial pada scope 1.

Karenanya, Bhima menyarankan agar pemerintah dapat menyelaraskan implementasi ESG yang sudah berjalan baik di lingkup operasional INCO.
 
"Harusnya dengan kontrol pemerintah melalui BUMN dalam akuisisi saham Vale, bisa diselaraskan dengan ESG yang lebih baik," ujar Bhima, Jumat (4/8/2023).

Menurut Bhima, maksud dari fase ESG scope 1 yang sekarang ini baru dilakukan di Indonesia, yaitu penghematan energi.

Sementara, pada scope 3 seperti pembahasan terkait dengan rantai pasok yang perlu dipastikan mematuhi standar lingkungan dan tata kelola yang baik, dalam pandangan Bhima, masih belum terlaksana secara baik.

"Untuk scope 3 memang perlu didorong. Sebagai contoh, perusahaan baterai kendaraan listrik harus memastikan bahan baku nikel diperoleh dari sumber yang tidak menimbulkan dampak lingkungan negatif, dan memberi perlindungan yang baik ke para pekerja," tutur Bhima.

Ke depan, Bhima menjelaskan, perlu diantisipasi adanya standar disclosure atau keterbukaan sustainibility risk bagi perusahaan publik, dalam rangka penerapan International Financial Reporting Standards (IFRS) 1 dan 2.

Dalam pandangan Bhima, kalangan pengusaha juga perlu dituntut untuk membuka perkembangan ESG kepada investor publik, sehingga ada monitor yang ketat terhadap rating dan klaim ESG.

Selain itu, pemerintah juga harus mendorong BUMN untuk lebih menerapkan ESG. Sebab, selama ini, belum sepenuhnya BUMN menerapkan ESG.

"Terlihat dari taksonomi hijau dan kewajiban ESG bagi BUMN belum sepenuhnya ideal. ada beberapa problem misalnya pendanaan perbankan ke PLTU batu bara masih berlangsung," ungkap Bhima.

Bhima pun menilai penggunaan batu bara dalam proses produksi tidak akan mendukung Indonesia mencapai penerapan ESG yang baik.

Selain itu, hal tersebut dikatakan Bhima menjadi kontradiksi dengan upaya pensiun dini PLTU batu bara serta komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi bersih.

"Problemnya biaya pinjaman untuk mendanai proyek ini akan jadi lebih mahal. Beberapa proyek PLTU baru di kawasan hilirisasi tidak banyak didanai oleh perbankan luar negeri. Banyak yang melihat proyek PLTU secara finansial terlalu mahal dan mempengaruhi citra perusahaan yang terlibat," tandas Bhima.

Karenanya, Bhima mengingatkan bahwa BUMN dan dunia industri harus meninggalkan hilirisasi yang tidak sejalan dengan prinsip ESG.

Salah satu contohnya, ungkap Bhima, upaya deinvestasi MIND ID yang akan dilakukan kepada INCO harus terus menerapkan sistem ESG, dan jangan sampai kembali pada penggunaan batu bara.

"Perlu meninggalkan proses hilirisasi yang tidak sejalan dengan ESG. Lalu dengan kontrol pemerintah melalui BUMN dalam akuisisi saham Vale, harusnya bisa diselaraskan dengan ESG yang lebih baik," tegas Bhima. (TSA)

Halaman : 1 2 3 4
Advertisement
Advertisement