IDXChannel – Empat saham bank raksasa alias the big four ditutup di zona merah pada Rabu (3/4), melanjutkan tren pelemahan sejak awal pekan di tengah tekanan jual investor asing.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham bank swasta terbesar PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memimpin pelemahan, dengan turun tajam 3,79 persen ke level Rp9.525 per saham.
Nilai transaksi BBCA menjadi yang tertinggi kedua pada Rabu, mencapai Rp1,7 triliun. Volume perdagangan BBCA sebesar 177 juta saham.
Dalam sepekan, saham BBCA merosot 5,22 persen di tengah jual bersih (net sell) asing Rp870,24 miliar di pasar reguler.
Setali tiga uang, saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) melemah 2,74 persen, membuat bank BUMN ini turun selama 3 hari beruntun. Saham BBNI sudah turun 10,50 persen dalam sepekan.
Asing mencatatkan net sell atas saham BBNI senilai Rp426,89 miliar di pasar reguler selama seminggu belakangan.
Demikian pula, dua saham bank pelat merah lainnya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) masing-masing terdepresiasi 1,81 persen dan 0,88 persen.
Seperti BBCA dan BBNI, saham BMRI mencatatkan net sell asing Rp1,31 triliun dan BBRI Rp1,07 triliun dalam sepekan.
Saham BMRI terpangkas 5,57 persen, sedangkan BBRI 10,71 persen dalam seminggu.
Sementara, Indeka Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melorot 0,97 persen ke 7.166,84. Indeks acuan mengalami tekanan jual signifikan akhir-akhir ini seiring melemahnya keempat nama di atas dan sejumlah big cap lainnya.
IHSG sudah turun 2,70 persen dalam seminggu belakangan di tengah net sell asing yang mencapai Rp4,97 triliun dalam periode yang sama.
Pelemahan Rupiah hingga Faktor Musiman
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta baru-baru ini menjelaskan, penurunan saham bank kakap tersebut seiring sentimen pembagian dividen yang mereda saat ini.
“Di sisi lain, sentimen dovish dari The Fed mulai mereda sehingga rupiah terdepresiasi ke level Rp15.900-an per USD,” ujar Nafan kepada IDXChannel, Senin (1/4) lalu.
Pada Rabu (3/4), rupiah diperdagangkan di level Rp15.915 per USD, terendah sejak Oktober-November tahun lalu.
Di samping itu, Nafan juga menyebut, rilis data inflasi turut menjadi salah satu perhatian pasar.
“Kenaikan inflasi begitu tinggi sering menghadapi momen lebaran. Kenaikan inflasi di atas ekspektasi, akan mendekati range yang ditetapkan BI [Bank Indonesia],” kata Nafan.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi Maret 2024 sebesar 0,52% secara bulanan (month to month/mtm). Kenaikan ini dipicu peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,58 pada Februari 2024 menjadi 106,13 pada Maret 2024.
Inflasi tahunan atau secara year on year (yoy) sebesar 3,05%.
Sementara, pengamat pasar modal Michael Yeoh menjelaskan, banyak faktor yang bisa dikaitkan dengan penurunan IHSG.
Michael pun menyebut sejumlah penyebab, mulai dari rupiah yang berpotensi menembus Rp16.000 per USD, respons negatif atas aturan Papan Pemantauan Khusus (PPK) bursa dengan skema full call action (FCA), hingga pemulihan pasar saham China.
“Harus diingat bahwa kenaikan indeks kita [selama ini] terjadi karena ada capital outflow di China yang masuk ke Indonesia. Pulihnya data PMI di China membuat banyak investor mulai berpaling untuk kembali ke bursa China. [Ini] bisa dilihat [seiring] terjadi anomali di saat bursa IHSG terkoreksi hampir 2%, Shanghai justru +1,2%,” beber Michael kepada IDXChannel.com.
Sosok yang kerap memberikan edukasi pasar saham via akun media sosialnya tersebut menambahkan, dirinya memproyeksi, dalam jangka waktu menengah, pemulihan pasar China yang bertahan lama akan memberikan peluang untuk sektor komoditas RI yang sudah terkoreksi cukup besar selama ini.