“Menurut para pakar yang belum bergerak itu dua segmen. Skenario terburuk, kemungkinan terburuk segmen Mentawai-Siberut ini, kemungkinan terburuk itu magnitudo-nya dari perhitungan para pakar itu M8,9. Dan segmen Selat Sunda-Banten yang juga belum bergerak, kemungkinan magnitudo terbesarnya itu M8,7,” kata Dwikorita.
Dwikorita pun menegaskan informasi yang disampaikan oleh BMKG bukan untuk menakut-nakuti, namun memberikan kewaspadaaan kepada masyarakat. Mengingat, sejarah mencatat gempa dan tsunami di zona megathrust sudah pernah terjadi.
“Agar publik memiliki literasi gempa dan tsunami yang sangat baik karena itu sudah ratusan tahun. Sehingga mereka kalau mendapatkan informasi, (agar) tidak kagetan dan tidak heboh, tidak gumunan (kagetan). Tapi tujuannya bukan untuk kecemasan, ketakutan. Mari kita sempurnakan mitigasi kita. Lalu jadi juga perkuat dalam mewujudkan mitigasi yang konkret,” ujar Dwikorita.
Dwikorita juga mengatakan sejak kejadian tsunami Aceh pada 2004, semakin membuat Indonesia meningkatkan mitigasi akan kejadian gempa dan tsunami. Bahkan, dulu sensor gempa yang hanya berjumlah 20 pada 2004, kini menjadi 533 sensor untuk mendeteksi potensi gempa khususnya di sepanjang jalur zona megathrust di Indonesia.
“Sekarang ya untuk menghadapi megathrust sengaja kami pasang, jadi dari 20 tahun 2004, kita lompatkan menjadi 533 sensor. Jadi, memang lahirnya Indonesian Tsunami Early Warning System,” kata dia.
(Febrina Ratna)