Dia juga mengungkapkan kerentanan profesi penilai terhadap intervensi karena minimnya perlindungan hukum.
“Jadi kalau Indonesia punya penilai dengan kapabilitas terpercaya, misal wartawan cari berita, dilindungi oleh UU, ada prosesnya kalau dia ditekan, bisa dilapor. Tapi kalau kami tidak, misal minta data dengan klien kita, dikasih alhamdulillah, tidak ya sudah, tidak ada perlindungan. Kalau di Malaysia tidak bisa, penilai periksa, tidak kasih data, Anda bisa dipenjara, karena menghalangi kerja penilai,” kata Dedi.
Dia menambahkan, praktik manipulasi nilai aset masih sering terjadi. Misalnya, harga aset yang tadinya Rp1 miliar bisa menjadi Rp10 miliar. Karena itu, MAPPI berharap RUU Penilai dapat segera terwujud untuk memberikan kepastian hukum, meningkatkan transparansi, dan mencegah potensi kerugian negara di masa depan.
(Ahmad Islamy Jamil)