Negosiasi nuklir dan uji coba rudal Korut
Konflik nuklir Korut sendiri berakar dari Perang Korea (1950–1953) yang mengakibatkan pembagian Semenanjung Korea. Pascaperang, Korut di bawah rezim Kim Il Sung mengembangkan program nuklir sejak 1980-an.
Pada mulanya, program senjata itu berjalan dengan bantuan Uni Soviet. Krisis pertama terjadi pada 1994 ketika Korut dituduh mengembangkan senjata nuklir, memicu kesepakatan Agreed Framework dengan AS untuk membekukan programnya. Namun, kesepakatan ini runtuh pada 2002 setelah Korut dituduh melanjutkan pengayaan uranium secara rahasia.
Pada 2006, Korut melakukan uji coba nuklir pertamanya, diikuti lima uji coba lain hingga 2017. Sanksi PBB diberlakukan, tetapi Korut terus meningkatkan kemampuan rudal balistiknya, termasuk rudal antarbenua (ICBM) yang bisa menjangkau AS.
Upaya diplomasi seperti pertemuan Kim-Trump pada 2018-2019 berakhir dengan kebuntuan. Itu disebabkan oleh ketidaksepahaman soal denuklirisasi, kegagalan kompromi di Hanoi, tekanan politik domestik yang dihadapi Trump di AS, kurangnya kepercayaan, serta dinamika geopolitik. Setelah pertemuan terakhir di DMZ pada Juni 2019, hubungan Pyongyang-Washington yang sempat sedikit menghangat, kini kembali membeku. Negosiasi nuklir AS-Korut tidak mengalami kemajuan berarti hingga saat ini.
Sepanjang 2021–2024, Korut telah mempercepat uji coba rudal, termasuk rudal hipersonik dan rudal balistik antarbenua (ICBM). Tercatat ada lebih dari 100 uji coba senjata sejenis oleh Pyongyang sejak 2022.
Pada 2022, rezim Kim Jong Un menegaskan kebijakan "nuklir pertama" dalam konstitusi Korut (2022), sembari menolak denuklirisasi. Ketegangan di Semenanjung Korea pun meningkat seiring dengan langkah AS dan Korsel yang memperkuat latihan militer bersama. Pada saat yang sama, Korut terus merapat ke Rusia dan China, memanfaatkan veto sanksi di DK PBB.
Intelijen AS memperkirakan Korut memiliki 40–50 hulu ledak nuklir dan terus memproduksi bahan fisil. Hingga kini, isu nuklir Korut terus menjadi masalah yang kompleks karena faktor keamanan rezim Korut, kegagalan diplomasi, dan dinamika geopolitik global.
(Ahmad Islamy Jamil)