Perahu kayu ini mampu mengangkut 40-60 orang. Oleh sebab itu dalam perlombaan, Anda melihat banyak pendayung menaiki satu kapal. Kemudian warga mulai mengukir kapal-kapalnya dengan ukiran gambar binatang, dan menambah banyak perlengkapan.
Misalnya tali-temali, selendang, tiang tengah atau gulang-gulang, dan lambai-lambai atau tempat juru mudi berdiri. Perubahan ini adalah awal mula perkembangan fungsi jalur, dari semula hanya moda transportasi, menjadi identitas sosial.
Pasca perubahan ini, jalur berhias hanya digunakan oleh penguasa wilayah, kaum bangsawan, dan para datuk. Ratusan tahun kemudian, penduduk mulai menggelar lomba adu kecepatan antar jalur, inilah yang kemudian disebut dengan Pacu Jalur.
Perlombaan Pacu Jalur juga mengalami beberapa pergeseran. Dulunya Pacu Jalur digelar di perkampungan sepanjang Sungai Kuantan untuk merayakan hari besar Islam. Pada masa penjajan Belanda, Pacu Jalur diadakan untuk perayaan adat, kenduri, dan peringatan ulang tahun ratu Belanda.
Kemudian setelah Indonesia merdeka, Pacu Jalur diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Perlombaan ini bisa diikuti ratusan jalur, dengan satu kapal dinaiki 45-60 pendayung atau anak pacu.
Itulah informasi singkat tentang Pacu Jalur dan Wapres Gibran yang dijadwalkan hadir untuk ikut menonton perlombaan mendayung tersebut.
(Nadya Kurnia)