IDXChannel - Produsen mobil Prancis Renault berencana memangkas sekitar 3.000 karyawan melalui program pengunduran diri sukarela. Langkah ini menyasar staf di fungsi pendukung, menurut laporan buletin Prancis L’Informe pada Sabtu.
Dalam rencana penghematan biaya yang diberi nama "Arrow", Renault berupaya memangkas jumlah pegawai di layanan pendukung seperti sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran sebesar 15 persen.
Langkah tersebut diperkirakan berdampak pada sekitar 3.000 pemutusan hubungan kerja (PHK) di kantor pusatnya di Boulogne-Billancourt, pinggiran Paris, serta di sejumlah lokasi lain di seluruh dunia.
Buletin tersebut mengutip sumber yang mengetahui rencana itu, yang mengatakan bahwa keputusan final kemungkinan akan diambil sebelum akhir tahun ini.
Melansir Investing, Sabtu (4/10/2025), Renault mengonfirmasi bahwa perusahaan sedang mempertimbangkan langkah penghematan biaya. Namun, pada tahap ini belum ada angka pasti karena keputusan belum diambil.
"Mengingat ketidakpastian di pasar otomotif dan lingkungan yang sangat kompetitif, kami mengonfirmasi bahwa kami sedang meninjau cara untuk menyederhanakan operasi, mempercepat eksekusi, dan mengoptimalkan biaya tetap," ujar juru bicara Renault.
Pada akhir 2024, Renault mempekerjakan 98.636 karyawan di seluruh dunia.
Renault melaporkan pada Juli bahwa perusahaan mencatat rugi bersih semester pertama sebesar 11,2 miliar euro atau sekitar USD13 miliar, termasuk penurunan nilai investasi sebesar 9,3 miliar euro dari mitranya, Nissan.
Tanpa memperhitungkan penurunan nilai tersebut, laba bersih anjlok menjadi 461 juta euro, kurang dari sepertiga dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan itu disebabkan oleh melemahnya pasar van, meningkatnya biaya kendaraan listrik, dan tekanan komersial di tengah persaingan yang semakin ketat.
CEO baru Francois Provost, yang diangkat pada Juli, kini menghadapi tantangan besar untuk memulihkan margin keuntungan dan mengembalikan peringkat kredit Renault ke level investment grade.
Menurut para analis, dia juga perlu mencari strategi bagi produsen mobil yang relatif kecil itu untuk menghadapi dampak tarif AS serta persaingan ketat dari produsen mobil China.
(NIA DEVIYANA)